Penggiat Budaya Jelaskan Rahasia Tradisi Meugang Masyarakat Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Biyu
Herman RN, penggiat budaya dan Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Foto: net
DIALEKSIS.COM | Aceh - Meugang adalah sebuah kearifan lokal yang khas di Aceh, Indonesia. Filosofinya adalah ungkapan rasa syukur atas kesempatan bertemu dengan bulan Ramadan. Meskipun demikian, sejarah dan latar belakang tradisi ini masih kurang dikenal di kalangan publik, namun tetap teguh diakar dan terus dilakukan oleh masyarakat Aceh.
Untuk mengklarifikasi informasi tersebut, Dialeksis.com (11/03/2024) menghubungi Herman RN, seorang penggiat budaya dan Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Menurutnya, tradisi Meugang telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu, dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607—1636 Masehi) di Kerajaan Aceh. Pada masa itu, Sultan Iskandar Muda memotong hewan-hewan ternak secara besar-besaran dan membagikannya kepada masyarakat.
"Hari Meugang, atau Meugang, adalah tradisi yang diawali dengan pemotongan sapi, kerbau, kambing, ayam, dan itik (bebek). Tradisi ini dilaksanakan menjelang bulan Ramadan (dua hari sebelum Ramadan), serta saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha," ungkapnya kepada Dialeksis.com.
Herman menegaskan bahwa Meugang telah menjadi bagian dari budaya lokal masyarakat Aceh, menjadi ekspresi kegembiraan dan kesenangan menyambut bulan Ramadan yang penuh berkah dan suci.
Meski demikian, ketika ditanya apakah tradisi ini memberatkan bagi masyarakat Aceh yang kurang mampu, Herman menjelaskan bahwa bagi mereka yang tidak mampu, setidaknya akan berusaha semampu mereka untuk memastikan keberadaan daging saat menyambut puasa Ramadan.
"Namun, jika mereka tidak mampu, biasanya masyarakat yang lebih berkecukupan akan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan saat berpuasa di bulan Ramadan, baik itu dalam bentuk daging atau sumbangan uang untuk membeli daging," jelasnya.
Ia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa tidak melakukan Meugang dianggap sebagai sesuatu yang kurang dalam masyarakat Aceh, sejalan dengan pepatah yang mengatakan, "Hadih maja disebutkan adat meukoh reubong, hukom meukoh purieh; adat jeut berangkaho takhong, hukom hanjeut barangkapat takieh."
Dalam ungkapan lain, Herman menyampaikan, "Meulangga hukom raya akibat, meulangga adat malee bak Donya," yang berarti bahwa tidak melaksanakan Meugang dapat menimbulkan rasa malu, meskipun tidak ada hukuman yang ditetapkan secara resmi.