Beranda / Berita / Aceh / Direktur LBH: Kasus Pelecehan Anak Hukumannya Penjara Jangan Cambuk

Direktur LBH: Kasus Pelecehan Anak Hukumannya Penjara Jangan Cambuk

Senin, 11 Oktober 2021 22:20 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul. [Foto: IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul menyampaikan 3 tahun terakhir ini Aceh dibanjiri oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak. 

Ia melanjutkan persoalan mendasar terhadap anak di Aceh perlu diatasi, terutama terkait penegakan hukum untuk lebih serius.

Syahrul menilai, aparat penegak hukum di Aceh khususnya masih belum tepat dalam melakukan penegakan hukum, di satu sisi itu dipaksa karena aturan hukum di Aceh menggunakan Qanun Jinayah. 

Qanun Jinayah ini akhir Desember tahun lalu baru ada perintah dari Mahkamah Agung (MA) dari Kejaksaan Agung dan dari Kapolri untuk hukuman kasus penjara.

Kata Syahrul, sebelumnya kebanyakan kasus itu diproses secara cambuk ini juga bisa menjadi motivasi bagi pelaku-pelaku yang lain, hukuman cambuk itu tidak bikin jera, mengapa demikian? Ya karena selesai dicambuk dilepaskan, dianggap sudah menjalani hukuman.

"Nah bisa jadi dalam jangka waktu 3 bulan pelakunya sudah keluar, begitu selesai dicambuk wajib dilepaskan, kita tau sendiri bahwa pemulihan hukuman cambuk itu paling lama 2 bulan, artinya dia merasa menderita paling lama itu sekitar 5-6 bulan," jelasnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Senin (11/10/2021).

Menurutnya, itu membuat efek jera bahkan di beberapa kasus kembali melakukan kejahatan. Ada korban yang meminta bantu kekerasan seksual terhadap pelaku yang sama.  

Qanun Jinayah yang kita miliki tidak mempunyai pandangan yang memposisikan anak sebagai korban, selain hukuman yang masih kita anggap tidak membuat efek jera dalam jangka yang panjang untuk pelaku tapi juga berefek pada penderitaan terhadap korban itu bisa lama. 

“Kita sama-sama tahu bahwa kekerasan sexsual tidak akan selesai meskipun sudah ketuk palu menghukum pelaku, penderitaan fisik dan psikologis yang dialami oleh korban itu jangka panjang apalagi anak-anak yang umurnya 5-18 tahun, dia punya masa hidupnya yang masih relatif lama, bayangkan kalau menggunakan Qanun Jinayah yang sama sekali tidak memiliki perspektif pemulihan terhadap korban, penderitaan yang ditanggung oleh korban bisa sampe dia tua,” ujar Syahrul.

Ia juga menyebutkan, masalahnya ada 2 yaitu peraturan Perundang-undangan Qanun Jinayah dan yang kedua perspektif aparat penegak hukum dalam menangani kasus itu kurang perspektif Perlindungan Anak maka yang sedang dilakukan adalah mendorong revisi Qanun Jinayah itu sendiri yaitu meminta pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mencabut 2 pasal yaitu Pasal Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Pasal 47 Qanun Jinayah dan pasal 50 tentang Pemerkosaan Terhadap Anak. 

“Hal ini perlu dilakukan revisi, mudah-mudahan prolega 2022 itu bisa masuk dan bisa dicabut karena 2 pasal ini jika kita bandingkan dengan Pasal Perlindungan Anak itu sangat rendah hukumannya, misalnya kasus Kekerasan Sexsual pada 47 itu hanya 45 bulan, jika kita bandingkan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak itu bisa sampai 15 tahun ancamannya, jika pelaku orang terdekat, ayah kandung, adek kandung, abang kandung, paman, atau tenaga pendidik, itu bisa ditambah menjadi 20 tahun penjara,” jelasnya.

“Itu hukumannya penjara nggak ada alternatif cambuk atau bayar denda, bahkan kurungan,” tegasnya.

Kalau UU Perlindungan Anak langsung dipenjara dia, kemudian pasal Pemerkosaan di pasal 50 hukuman maksimalnya 16 tahun 6 bulan, itu juga bisa ditambah 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup jika perlu kalau perbuatan itu sudah berkali-kali dilakukan dan korbannya lebih dari satu. Ini perlu dipikirkan dari Pemerintah Aceh jika kasus ini mau diatasi. Selanjutnya juga di tingkat penegakan hukum. 

“Aparat penegakan hukum kita banyak meng-SP3kan kasus, menghentikan kasus-kasusnya, sepanjang pengalaman kasus LBH yang tangani itu ada dua kasus yang dihentikan, alasan menghentikan adalah tidak ada saksi yang melihat secara langsung bahwa pelaku melakukan perbuatan itu. Bayangkan polisi meminta agar pemerkosaan itu ada yang melihat, emang pelaku itu bodoh gitu memperkosa orang di pasar, memperkosa orang di jalan, apalagi anak-anak dikasih permen dibawa ke tempat gelap, dibawa ke tempat sunyi, kalau pelaku ayahnya tunggu mamaknya ngak di rumah, tunggu rumah sepi,” lanjutnya.

Padahal lanjutnya, di tubuh korban berdasarkan hasil visum terdapat penderitaan atau perbuatan itu, kan itu jelas bahwa tindak pidana itu ada, tugas polisi adalah menemukan berdasarkan petunjuk-petunjuk. Ketika ada petunjuk malah meminta orang yang melihat langsung, ini kan aneh, nah itu juga penting diperhatikan oleh para penegakan hukum ke depannya bahwa keterangan anak itu harus dianggap sebagai bukti petunjuk yang kuat.

“Apalagi anak yang 5 tahun itu jarang ngomong plin plan dia, tentunya ini juga harus didampingi oleh psikolog, itu sedang kita upayakan memang, kita tetap mendorong perubahan di tingkat kebijakan dan berharap aparat penegakan hukum memiliki perspektif korbanlah dalam menangani perkara, jangan menyamakan semua tindak pidana itu sama harus ada yang melihat. Harus ada orang yang rekam, itu terlalu mudah bagi aparat penegakan hukum begitu, nah dalam kasus-kasus seperti ini itu ngak bisa disamain,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda