Beranda / Berita / Aceh / Nurzahri: Aceh Tidak Dilibatkan dalam Penetapan Pulau Sengketa

Nurzahri: Aceh Tidak Dilibatkan dalam Penetapan Pulau Sengketa

Rabu, 01 Juni 2022 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizki

Tangkapan layar diskusi Serambi fm terkait "Potensi Konflik dengan Hilangnya Empat Pulau di Aceh", Selasa (31/5/2022). 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Nurzahri mengatakan bahwa Aceh tidak dilibatkan dalam penetapan Pulau Sengketa.

Ada empat pulau Aceh yang diklaim oleh Sumatera Utara (Sumut), yaitu Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

"Perbatasan Aceh dengan Sumatera adalah hal yang sangat sensitif dan menjadi pusat perhatian bagi Aceh dan pusatnya sendiri. Itu sebabnya dalam perjanjian MoU Helsinki, salah satunya adalah perbatasan," ucap Nurzahri dalam diskusi Serambi fm terkait "Potensi Konflik dengan Hilangnya Empat Pulau di Aceh", Selasa (31/5/2022).

Seperti yang diketahui bahwa konflik antara Aceh dengan Jakarta dulu terkait perbatasan juga, yakni pada saat Aceh dileburkan menjadi Sumatera Barat. Sejak saat itu memang perbatasan wilayah terus menjadi masalah.

Ia juga menyampaikan bahwa Indonesia tidak mempunyai teknologi yang canggih terkait peta, hanya manual saja. Namun untuk canggih teknologinya belum ada.

" Apalagi pada saat itu belum ada google maps untuk buat peta yang lebih modern," ucapnya dalam diskusi tersebut.

Lanjutnya, ada beberapa pertemuan di tahun 1988, 1992 hingga 2010. Pertemuan tersebut yang melibatkan Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumut, yang di dalamnya melibatkan pihak Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) yang otoritasnya punya kewenangan.

Di salah satu pertemuan tersebut, ada kesepakatan yang ditandatangani secara bersama antara Pemerintah Aceh, Pemerintah pusat, dan Kemendagri. Di mana permasalahan wilayah antara Aceh dengan Sumut merujuk pada peta topografi yang dibuat oleh TNI AD 1978. 

Kemudian, di dalam peta topografi itu keempat pulau yang menjadi sengketa hari ini di perbatasan Tamiang itu masuk ke wilayah Aceh. Namun pada tahun 2017, ada perintah dari pusat setiap provinsi membuat peta Ruang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Peta RZWP3K).

Pada tahun 2017, Sumut duluan membuat peta tersebut dibandingkan Aceh. Jadi mereka memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah mereka. Sebutnya lagi, tahun 2017 ada rapat umum dengan DPRD Sumut yang mengundang juga dari Aceh. 

"Kami juga sampaikan protes pada waktu itu karena ada empat pulau Aceh kita yang masuk ke wilayah mereka," jelasnya.

Akhirnya peta tersebut diberikan kepada Kemendagri untuk dilakukan evaluasi, hasilnya pulau tersebut menjadi Pulau Sengketa. Padahal pada 2010, keempat pulau tersebut sudah menjadi wilayah Aceh.

Ia juga menyebut bahwa ia yang menjadi ketua tim pembuatan peta tersebut pada tahun 2018 dan keempat pulau tersebut dimasukkan ke dalam peta, Sumut pun demikian. 

Dalam proses fasilitasi, pihak Kemendagri dan Kementrian KKP itu menjanjikan daerah persengketaan ini dipertemukan antara Pemerintah Aceh dengan Sumut. Namun, itu tidak pernah terjadi.

"Saya sudah pergi ke Sumut, Kemendagri, dan Kementerian KKP menyampaikan mekanisme sengketa harus dipertemukan kedua belah pihak, ada pihak pelerai sebagai penyelesaian," tambahnya.

Tiba-tiba saja pihak Kemendagri mengeluarkan keputusan sepihak. Itu sebenarnya yang menjadi konsekuensi Pemerintah Aceh dan DPRA sehingga diprotes. Kenapa Aceh tidak dilibatkan dalam penentuan sengketa tersebut?

"Jadi sepihak saja Kemendagri. Ini yang sebenarnya kita sesalkan. Bahkan ada pernyataan bahwa alasan Aceh tidak kuat," tuturnya lagi.

"Permasalahan kuat atau tidak ada bukti dari Aceh, tapi mekanismenya harus dipertemukan sehingga ada keputusan dan ditandatangani secara bersama, tidak diputuskan sepihak, karena perdebatan wilayah sangat sensitif," tutupnya. [AU]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda