Beranda / Berita / Aceh / Mendorong Ketahanan Pangan Aceh Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal

Mendorong Ketahanan Pangan Aceh Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal

Rabu, 28 Oktober 2020 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

[IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Covid-19 menimbulkan krisis diberbagai bidang salah satunya adalah bidang perekonomian. Krisis ini menyebabkan resesi perekonomian yang di antaranya ditandai dengan berkurangnya produksi dan meroketnya harga barang dan ketidak tersediannya bahan pangan.

Jika sebelumnya pemerintah mengaku “dipaksa” untuk impor sebagai affirmative action untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Covid-19 membuat segalanya tidak mungkin sehingga gerakan pemenuhan pangan berskala keluarga menjadi inisiatif penting dan luar biasa.

Kearifan lokal Aceh yang sarat pengetahuan tentang bagaimana ketahanan pangan dan mata rantai perputaran ekonomi sudah menunjukkan banyak hal seperti kata-kata bijak Tgk. Chik Peusangan “Jaroe Bak Langai, Mata U Pasai”. Kata-kata bijak ini menjadi popular dan diucapkan oleh banyak tokoh Aceh dalam berbagai pertemuan.

Menanggapi kondisi ini, KakiLangit-rumah pengetahuan masyarakat sipil Aceh, mengadakan kegiatan webinar bertajuk Strategi Ketahanan pangan Aceh dan inisiasi komunitas menghadapi krisis pandemi Covid-19 pada Rabu (28/10/2020) bertepatan dengan Peringatan Hari Sumpah Pemuda.

Kegiatan ini merupakan kerjasama SEJAJAR Nasional dan SEJAJAR Aceh yang beranggotakan Katahati Institute, Kontras Aceh, Flower Aceh, kamiKITA, Solidaritas Perempuan Aceh, KakiLangit-Rumah Pengetahuan Masyarakat Sipil Aceh, Serikat Inoeng Aceh (SeIA), RPUK, Balai Syura, Puan Addisa, AWPF, LBH Apik dan PKBI Aceh.

Untuk membangkitkan gairah hari sumpah pemuda, pemuda-pemudi perwakilan dari kamiKITA menyanyikan lagu Bangunlah Pemuda-pemudi sebagai penyemangat dan pengantar diskusi yang dipandu oleh Moderator Azharul Husna dari Kontras Aceh.

Raihal dalam sambutannya menyebutkan, inisiasi ini merupakan ruang berbagi pengetahuan para inisiator ketangahanan pangan berbasis komunitas di Aceh yang menghadirkan empat orang narasumber dan satu orang penanggap yaitu Henny Cahyanti - KamiKita Community Centre, Juliani - Aceh Urban Farming Club, Sri Herlina Wati - Kwt Meutuah Tani Gampong Peulanggahan dan Rubama “ Gampong Nusa.

"Inisiasi berbagi pengetahuan ini menjadi ruang berbagi pengetahuan antar komunitas ini menjadi pengetahuan bersama yang bersumber dari komunitas yang ada di Aceh, khususnya Kota Banda Aceh untuk kemudian bisa direplikasikan di tempat lainnya dalam menginisiasi alternatif ketahanan pangan dalam masa pandemi dengan berbasis komunitas dan menggunakan media yang bersumber dari sekitar kita yang tersedia," jelas Raihal.

Raihal menceritakan, kamiKITA misalnya, komunitas ini beralamatkan di Gampong Mulia ini merupakan komunitas pemuda dan pemudi Lintas Etnik dan Agama yang mengusung konsep urban farming dengan memadukannya training literasi anggaran dan untuk menjaga kekompakan memadukan dengan kegiatan outdoor, kampanye serta riset untuk pengembangannya ke depan.

Kegiatan pembuatan pupuk kompos merupakan proses daur ulang sampah organic dari sumber pangan yang diolah dan juga menjadi kegiatan pembersihan gampong.

Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Aceh Urban Farming Club, namun modelnya dipadukan dengan proses sharing pembelajaran dan berbagi bibit antar anggota komunitas untuk menjalin silaturahmi serta melakukan kampanye melalui sosial media masing-masing pembelajaran.

Komunitas ini juga pernah menerima kunjungan kelompok komunitas lainnya dari kabupaten lain di Aceh untuk belajar bercocok tanam dengan gaya perkotaan. Lahan luas bukanlah kendala bagi komunitas ini, karena atap rumah dan berbagai media lainnya bisa menjadi alternative bercocok tanam jika tidak memiliki lahan ataupun pekarangan rumah yang luas.

Menariknya lanjut Raihal, komunitas yang bermula dari 10 anggota ini terus mengembangkan komunitasnya dengan mengajak menanam dengan menggunakan platform sosial media dan membuat group whatsapp yang saat ini telah beranggotakan 44 anggota yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dari beragam latar belakang mulai dari ibu rumah tangga, aktifis lingkungan, aktifis perempuan, bidan, dosen, pensiunan, petani, pimpinan dayah yang berada di berbagai wilayah Aceh terutama di Banda Aceh.

Komunitas yang juga telah lama ada dan mengkampanyekan ketahanan pangan lainnya adalah Gampong Nusa, yang memadukan konsep ketahanan pangan dengan reformasi meja makan dan merawat pengetahuan lokal menuju ketahanan pangan dan swasembada pangan. Dan ini semakin ditingkatkan saat pandemi mengancam.

Gampong Nusa merupakan gerakan berbasis potensi lokal dengan melakukan pemetaan potensi secara partisipatif dan saling memperkuat sesama generasi muda sebagai penerus pembangunan. Memanfaatkan media tanam yang ada disekitar gampong mereka telah memulai ini hampir sepuluh tahun yang lalu dengan memulai dengan asupan makanan berbahan pangan lokal dari meja makan.

Gampong Nusa juga mempromosikan makanan lokal melalui festifal dan oleh-oleh khas Gampong Nusa bagi wisatawan lokal bahkan mancanegara yang berkunjung ke gampong wisata ini. Mengusung semboyan Bangga dengan Kuliner Lokal, Gampong Nusa terus berbenah hingga bisa mewujudkan ketahanan ekonomi berbasis pangan lokal.

Selanjutnya, Kwt Meutuah Tani Gampong Peulanggahan awalnya merupakan inisiatif komunitas ibu-ibu pelanggahan yang kemudian difasilitasi oleh Pemerintah Aceh melalui Program Gampang yang diluncurkan oleh Pemerintah Aceh melalui program ketahanan pangan masa pandemi.

Program pemerintah ini baru menyasar enam komunitas di Banda Aceh. Komunitas ini mulai mengmbangkan lele juga yang lebih dikenal dengan ledukdumber, yang memadukan sayuran kangkong dan lele dalam wadah yang sama sebagai alternatif media bercocok tanam. Konsep urban farming juga diterapkan di komunitas ini.

Reza Idria dalam inisiasi Blok B sering memposting kegiatannya melalui sosial media untuk penyemangat agar tumbuh inisiatif lainnya. Menurutnya pandemi memberikan hikmah bagi masyarakat untuk melahirkan inisiatif bercocok tanam dengan berbagai media ini.

Karena krisis pangan bisa membunuh manusia lebih dari pandemi itu sendiri. Nama Blok B sendiri merupakan sindiran untuk Pemerintah Aceh dalam kegiatannya mengembangkan potensi migas sebagai alternatif sumber daya energi.

Padahal menurutnya “mimpi blok migas” itu bisa lebih nyata jika pemerintah melihat potensi agraria yang dimiliki Aceh.

"Pengalaman empiris Blok B nya saja yang baru berkembang, tiga bulan sudah menghasilkan. Bagaimana jika ini dikembangkan lebih massif dan terstruktur dan selangkah lagi dengan membuka akses pasar," jelas Reza Idria.

Dalam kesimpulannya Azharul Husna sebagai moderator menyebutkan, menjaga kewarasan saat pandemi dengan bercocok tanam dan mengembangkan potensi pangan dengan menjaga kearifan lokal serta penganan lokal menjadi penting sehingga sepuluh atau dua puluh tahun ke depan kita masih bisa menemukan menu makanan rumahan yang terjamin kualitasnya serta khas seperti ie bu peudah di rumah-rumah karena tradisi lidah generasi tetap terpelihara.

"Ini bisa terwujud jika kita tetap menjaga potensi pangan kita dan literasi antar generasi," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda