Beranda / Berita / Aceh / MaTA Sorot Kejaksaan, Kondisi di Aceh Paling Membingungkan

MaTA Sorot Kejaksaan, Kondisi di Aceh Paling Membingungkan

Kamis, 02 Desember 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jaksa Agung Republik Indonesia, Burhanuddin saat melakukan kunjungan kerja ke Sumatra Selatan sempat mengarahkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk mengubah cara berpikir dalam memberantas tindak pidana korupsi dengan turut berorientasi pada perbaikan sistem.

Menanggapi arahan dari Jaksa Agung tersebut, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, perbaikan sistem merupakan salah satu daya dukung untuk mempercepat proses pemberantasan korupsi.

Apalagi, kata dia, kejaksaan adalah lembaga negara yang fokus pada penegakan hukum, sehingga sistem yang memiliki akuntabilitas, transparan, dan juga soal kualitas sumber daya manusia serta kode etik dalam penegakan pidana korupsi perlu terstruktur dengan rapi.

Namun, lanjutnya, dengan proses perbaikan sistem yang selama ini terus didengungkan, masih belum berdampak baik pada proses percepatan dan kualitas terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Apalagi, sebutnya, soal kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terseret kasus dugaan suap yang menggema pada pertengahan tahun 2021. Yaitu, seorang jaksa yang mendapat jabatan strategis di Kejaksaan Agung tapi dinilai tak menerima efek jera yang maksimal.

"Jadi, sangat naif ketika misalnya Kejaksaan Agung mengatakan bahwa perlu perbaikan sistem. Sedangkan peristiwa yang terjadi di internalnya saja membuat publik tak bisa melupakan kasus itu," kata Alfian kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (1/12/2021).

Seharusnya, ujar Alfian, momentum persidangan Jaksa Pinangki itu, dijadikan Kejaksaan Agung sebagai upaya penindakan yang tegas, baik dari sisi penuntutan maupun administrasi.

Namun, dari awal Jaksa Pinangki diproses hukum, Alfian menduga seolah ada sesuatu yang tidak berjalan dengan seharusnya. Ia menilai proses hukum kasus dugaan suap Jaksa Pinangki terkesan diistimewakan.

Oleh karenanya, Alfian menegaskan, wacana dan arahan perbaikan sistem saja tidak cukup. Tetapi harus ada langkah-langkah yang kongkret dan nyata yang dipraktikkan oleh kejaksaan ke depan.

Alfian berujar, publik sudah tidak lagi mau terjebak dalam posisi wacana-wacana semata. Termasuk, kata dia, soal wacana Kejaksaan Agung yang sedang mengkaji kemungkinan pemberlakuan hukuman mati bagi terpidana koruptor.

Menurut Alfian sendiri, pemberlakuan hukuman mati bagi terpidana koruptor hanyalah mitos belaka. Tidak akan terwujud.

"Secara regulasi, proses hukum yang ada sekarang itu semua sudah sangat baik. Tinggal bagaimana memaksimalkan efek jera kepada terpidana korupsi," ucapnya.

Bicara soal efek jera hukuman bagi pelaku koruptor, Alfian menilai masih belum berjalan efektif. Konteks penindakan terhadap kasus pidana korupsi di Indonesia masih pilih kasih. 

"Ada kasus yang memang kerugian negaranya sedikit malah tuntutan dari jaksanya itu sangat berat dengan waktu yang lama. Tapi dengan kerugian negara sangat besar dan dampak terhadap kerugian negara juga sangat besar, malah hukumannya sangat sedikit," jelasnya.

Akibat pilih kasih penindakan kasus itulah, tegas Alfian, yang kemudian membuat publik meninggalkan catatan tidak baik terhadap kondisi kinerja kejaksaan saat ini. 

"Kalau pun Kejaksaan Agung ingin memperbaiki sistem, saya pikir perlu diperbaiki secara internal dulu. Artinya memulai dari internal dulu baru bicara keluar. Karena ini bicara trans (kepercayaan) juga terhadap jajaran kejaksaan Indonesia," ungkapnya.

UU Tipikor Cukup Baik, Problemnya Ada di Penyidik dan Jaksa Penuntut

Koordinator MaTA itu menyebut Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sekarang sudah cukup bagus dan tak perlu direvisi. Namun, kata dia, problematika pemberantasan korupsi saat ini terdapat pada level penyidik dan Jaksa Penuntut.

Dimana dalam UU Tipikor menyebutkan, jika ada kasus korupsi yang dilakukan dalam keadaan bencana, maka sanksi yang dijerat kepada si pelaku adalah hukuman mati.

"Di Indonesia sekarang, sanksi hukuman mati tidak pernah didakwakan. Kita tahu bahwa korupsi saat bencana alam sangat banyak terjadi. Tapi itu tidak diterapkan. Nah, itu menjadi salah satu problemnya juga yang ada di internal, mengapa tidak diterapkan," tuturnya.

Di sisi lain, lanjut Alfian, dakwaan tuntutan terhadap pelaku koruptor, tuntutannya juga selalu sangat rendah. 

Bahkan, kata dia, pola di saat koruptor ada yang melakukan pengembalian kerugian negara, retorika yang disampaikan ke publik selalu berkaitan dengan penyelematan uang negara, jarang pada pada posisi memberi efek jera kepada pelaku koruptor. 

"Kenapa hari ini efek jera penahanan tidak maksimal? Karena secara tuntutan juga tidak maksimal. Persoalan yang terjadi di dalam konteks aparat penegak hukum di negara kita hari ini, sangat lah serius. Karena dengan berbagai macam putusan dan berbagai macam kebijakan yang terjadi selama ini, kita melihat kondisi penegakan hukum kita tidak baik-baik saja," tegasnya.

Kondisi Kejaksaan di Aceh Lebih Membingungkan Dibanding Pusat

Alfian menyampaikan, kondisi kejaksaan di Aceh malah lebih membingungkan dibanding dengan keadaan di pusat. 

Ia menegaskan, kejaksaan di Aceh mampu dikontrol oleh orang yang memiliki modal, orang yang berbasis elit partai politik, orang-orang yang berbasis di birokrasi. 

"Faktanya, di beberapa kasus yang yang menjadi pengawalan MaTA, itu bahkan ada yang tidak ditindaklanjuti. Hasil audit BPKP sudah ada, malah kejaksaan tidak menindak," kata Alfian.

Ia mengatakan, kasus dugaan korupsi di Aceh terhadap terdakwa yang memiliki akses ke kekuasaan, elit politik, atau pun ke pemilik modal, penegakan hukumnya sangat lah lemah.

"Makanya soal akselerasi terhadap konsistensi komitmen kejaksaan dalam penegakan korupsi sampai sekarang kalau dari kami masih patut dipertanyakan. Karena tidak semua kasus korupsi itu diusut. Kalau kasusnya ikut melibatkan orang-orang tertentu, malah diusahakan pengembalian keuangan negara," ungkapnya.

Namun, tegas dia, perlu dipahami bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi, pengembalian keuangan negara tidak akan pernah menghapus sifat pidananya. Walaupun koruptor sudah mengembalikan keuangan negara, proses pidananya tetap lanjut. 

Secarik Pesan untuk Kejaksaan

Koordinator MaTA itu menegaskan, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi catatan untuk lembaga kejaksaan, khususnya di Aceh.

Pertama, kejaksaan harus memiliki akuntabilitas, transparansi dan memiliki konsistensi terhadap penegakan korupsi. 

Kedua, siapapun yang memiliki potensi terlibat, harus diungkapkan secara tuntas. Kejaksaan jangan hanya pada posisi upaya penyelamatan kerugian negara saja.

Ketiga, kejaksaan harus melakukan proses penelusuran terhadap penikmat anggaran dari hasil korupsi. Karena sejauh ini, kejaksaan tidak pernah melakukan proses penelusuran terhadap penikmat anggaran hasil korupsi.

Keempat, bicara soal wacana perbaikan sistem, kejaksaan harus memulai dari instansi internalnya sendiri.

"Publik hari ini sudah kenyang dengan wacana-wacana atau arahan. Publik butuh langkah yang kongkret," tutupnya. [Akh]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda