Masyarakat Resah, di Balik Wacana Fatwa Halal-Haram Pinjol
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi Uang. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Masalah pinjaman online (Pinjol) tak pernah ada habisnya. Jumlah korban bukannya berkurang, tapi terus berjatuhan.
Pinjol seringkali dijadikan jalan keluar ketika masyarakat butuh uang secara instan. Syarat untuk meminjam dari pinjol tak serumit perbankan.
Salah satunya, uang yang dipinjam nasabah bisa langsung cair pada hari yang sama setelah pengajuan. Berbeda dengan bank yang butuh proses lebih lama karena ada penilaian yang lebih ketat.
Jika utang tak dibayar tepat waktu, nasabah harus siap mental diintimidasi. Data ponsel dibongkar, diteror, hingga diancam dibunuh.
Hal seperti itu rata-rata dilakukan oleh pinjol ilegal. Mereka tak tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebut saja Melati (Nama Samaran), mantan guru Taman Kanak-kanak (TK) di Malang menjadi salah satu korban pinjol. Ia meminjam uang uang di empat sampai lima aplikasi pinjol dengan total Rp2,5 juta dengan tenor tujuh hari.
Karena tak punya uang pada jatuh tempo, ia meminjam lagi di pinjol lainnya, dan kini utangnya menumpuk dari Rp2,5 juta menjadi Rp40 juta. Jika ditotal, ia meminjam di 24 aplikasi pinjol.
Berbagai intimidasi pun datang dari masing-masing pinjol, bahkan hingga ancaman pembunuhan.
Sebelumnya akhir Juli 2021 lalu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berhasil menangkap delapan tersangka sindikat pinjol ilegal.
Pihak Bareskrim Polri mengatakan pinjol tersebut memfitnah peminjam sebagai bandar narkoba dalam proses penagihan. Selain itu, pinjol tersebut mengedit foto-foto dari peminjam perempuan untuk ditempelkan pada gambar tak senonoh.
Kemudian, foto disebar ke media sosial, mencemarkan nama baik peminjam dalam menagih utang mereka.
Kejadian ini bukan satu atau dua kali, tapi berulang-ulang dan sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Tak heran, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun akhirnya turun tangan.
Kaji Fatwa Halal-Haram
Ketua Fatwa MUI Hasanuddin AF mengatakan pihaknya terbuka untuk membuat fatwa soal halal atau haram praktik pinjol. Pasalnya, MUI menerima banyak keluhan masyarakat yang merasa dirugikan karena pinjol.
"Pinjol itu merugikan pihak peminjam. Banyak mudaratnya. Harus dilarang itu. Islam mengajarkan bahwa tak boleh merugikan salah satu pihak dalam suatu perjanjian," ungkap Hasanuddin.
Ia menilai praktik bisnis pinjol tak sesuai dengan syariat Islam. Pasalnya, pinjol memberikan pinjaman dengan sistem bunga yang berlipat ganda.
"Yang jadi masalah kan dharar-nya itu. Banyak mudaratnya. Apalagi sistem bunga itu. Itu jelas. Pinjam sekian, bunganya sekian. Jelas-jelas tidak syariah," katanya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menjelaskan masalah pinjol akan dibahas dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI ke-7.
Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI merupakan forum tiga tahunan dari program kerja prioritas Komisi Fatwa MUI. Pinjol, katanya, masuk dalam sub tema fikih kontemporer (fikih mu'ashirah).
Miftahul sadar bahwa keberadaan pinjol memudahkan masyarakat dalam mendapatkan sumber dana dengan cara cepat dan instan. Namun, banyak nasabah yang akhirnya dirugikan oleh pinjol.
Ada tiga poin utama yang menjadi perhatian para ulama. Pertama, skema akad yang digunakan. Apakah akadnya sama dengan sesuai dengan syariat Islam.
Kedua, syarat dan ketentuan dari praktik pinjol tersebut. Dalam hal ini, ulama akan melihat apakah praktiknya mengeksploitasi nasabah atau tidak.
Ketiga, domain pemerintah dalam menertibkan aplikasi pinjol. Pasalnya, Miftahul melihat masih banyak pinjol ilegal yang menawarkan pinjaman ke masyarakat.
Ia mengatakan Ijtima' Ulama akan digelar pada Oktober 2021 mendatang. MUI akan mengundang pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) jika diperlukan.
Sejauh ini, Miftahul mengatakan MUI belum membahas rencana pembuatan fatwa halal-haram pinjol dengan AFPI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara formal.
"Secara kelembagaan (membahas fatwa halal-haram pinjol) belum. Tapi secara personal sudah," ujar Miftahul.
Setelah Ijtima' Ulama dilakukan, MUI akan memberikan poin-poin rekomendasi kepada OJK sebagai regulator lembaga keuangan di Indonesia.
Nantinya, format fatwa akan terdiri dari ketentuan umum atau terkait dengan pengertian, ketentuan hukum, rekomendasi, dan penutup. (CNN Ind)