kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Maraknya Kasus Kekerasan Seksual, Akibat Minimnya Sex Education

Maraknya Kasus Kekerasan Seksual, Akibat Minimnya Sex Education

Jum`at, 01 Oktober 2021 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Aceh (KAPHA), Taufik Riswan Aluebilie. [Foto: IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus Kekerasan seksual terhadap anak di Aceh 3 tahun terakhir terus mengalami peningkatan dan sudah sangat mengkhawatirkan. Sehingga butuh perhatian semua pihak, terutama pemerintah agar memberikan perhatian dan langkah-langkah perlindungan khusus sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Taufik Riswan Aluebilie, kepada Dialeksis.com, Jumat (1/1/2021).

Taufik menyebutkan, ada banyak faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Selain kurangnya mendapatkan pengawasan dari kedua orang tuanya, keluarganya dan juga minimnya kesadaran masyarakat, serta kurang peran sinergi kolaboratif pemerintah dalam upaya mencegah terjadi kekerasan seksual terhadap anak, hal ini masih terlihat di masing-masing SKPA dan SKPK berjalan sendiri-sendiri.

"Misalnya saja Dinas Kesehatan masih jalan sendiri, Dinas Sosial Sendiri, Dinas Pendidikan Sendiri, dan belum bersinergi dalam menggerakkan program pencegahan dan perlindungan anak, sehingga ada kesan kalau perlindungan anak hanya dijalankan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, atau bidang yang memiliki urusan perlindungan anak," sebutnya.

Selain itu, lanjutnya, minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (Sex Education), serta dampak penggunaan teknologi yang tidak terdampingi oleh orang tua, memudahnya anak-anaknya mengakses film pornografi, dan game online yang berkekerasan.

"Minimnya efek jera dan kurang tegasnya ancaman hukum tindak pidana terhadap pelaku, tidak memberikan kesadaran publik dengan baik, apalagi mengesampingkan penerapan UU Perlindungan Anak di Aceh, karena adanya pasal dalam Qanun Jinayah yang mengatur soal jarimah anak yang mengalami kekerasan seksual, hal ini memungkinkan pelaku bebas, dan hanya dikenakan cambuk lalu bebas, sementara dampak psikologis dan traumatik yang dialami korban belum tertangani Secara komprehensif, apalagi bisa pulih," jelasnya lagi.

Soal Sex Education, semestinya tidak hanya didapat diberikan pada lingkaran sekolah, bahkan pengetahuan ini juga cukup penting di berikan pada orantua dan masyarakat, sehingga orangtuanya dan masyarakat juga bisa berpartisipasi dalam memberikan Sex Education, dan melakukan upaya pengurangan resiko terhadap kekerasan dan kejahatan seksual terhadap Anak.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda