Lolosnya Mualem Sebagai Komisi Pengawas BPMA, Dinilai Karena Lemahnya Regulasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Washliyah Banda Aceh, Fauza Andriyadi. [Foto: ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengangkatan Ketua Partai Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem sebagai Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) belakangan memicu polemik di kalangan masyarakat.
Keputusan pengangkatan ketua Partai Aceh tersebut ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam surat bernomor 292.K/KP.05/MEM.B/2022, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh.
Menanggapi hal itu, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Washliyah Banda Aceh, Fauza Andriyadi, mengatakan pengangkatan tersebut memicu polemik karena status sekaligus sejauh mana kompetensi dari Mualem yang saat ini sebagai ketua partai Aceh mempunyai pengetahuan di bidang hulu Migas.
Sebab, jelasnya, dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:126.K/OT.01/MEM.S/2021 tentang Persetujuan atas Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Migas Aceh, disebutkan komisi pengawas berjumlah 3 orang yang keanggotaannya terdiri atas unsur pemerintah, unsur pemerintah Aceh dan unsur masyarakat yang mempunyai pengetahuan di bidang hulu Migas.
Fauza menyebut lolosnya Mualem menjadi salah satu komisi pengawas BPMA karena cikal muasalnya dari regulasi Kementerian ESDM sendiri.
"Regulasi Kementerian ESDM ini sendiri harus diakui sangat lemah dan memiliki sejumlah celah sehingga memungkinkan parpol untuk berperan sebagai pengawas di badan pemerintah dalam rangka membawa kepentingan dan misi politik tertentu,” ujar Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) ini dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Minggu (26/2/2023).
Fauza menyebut ada dua kelemahan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:126.K/OT.01/MEM.S/2021 tentang Persetujuan atas Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Migas Aceh.
Pertama, dalam regulasi tersebut tidak tegas tersebut larangan anggota partai politik untuk menjadi komisi pengawas BPMA, sehingga BPMA rentan disusupi agenda politik tertentu dari pihak partai politik.
Kedua, lanjutnya, persoalan rekrutmen komisi pengawas. Tidak tersebut aturan rinci yang mengatur bagaimana rekrutmen komisi pengawas yang berpedoman pada prinsip akuntabilitas dan transparansi. Padahal persyaratan terhadap kualifikasi komisi pengawas perlu diatur sebab komisi ini mengawasi jalannya kerja kerja BPMA dalam pengelolaaan migas di Aceh.
"Dalam regulasi tersebut hanya diatur komisi pengawas dari unsur masyarakat harus mempunyai pengetahuan di bidang Hulu Migas. Namun, tidak ditegaskan standar kualifikasi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat tersebut duduk menjadi komisi pengawas, apakah harus memiliki sertifikasi tertentu, atau harus memiliki pengalaman tertentu selama berapa tahun. itu tidak jelas," jelasnya lagi.
Terakhir, Fauza menyebut bahwa polemik kader parpol menduduki badan pemerintah ini sebenarnya menyangkut persoalan etika dan kapasitas.
“Ini persoalan etika. Sejauh mana orang yang menduduki posisi pengawas itu sadar bahwa dirinya memang layak menduduki posisi tersebut. Kemudian menyangkut kapasitas. Sejauh mana juga dia memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang migas sehingga layak untuk menjadi pengawas dalam hal pengendalian migas di Aceh," tegasnya.
Publik menyoroti hal ini, kata dia, jangan sampai terkesan di mata publik penunjukan Mualem untuk disusupkan ke dalam BPMA ini dalam rangka memuluskan agenda politik tertentu. Terlebih Pemilu 2024 sudah didepan mata.
Ia menyarankan agar kedepan pemerintah pusat perlu merevisi aturan terkait tata kerja BPMA sehingga tidak ada lagi nilai negatif di mata publik terhadap kinerja BPMA. [nor]