Ketua IDI Aceh Dukung Kemenkes Anggarkan Rp30 Triliun Atasi 3 Penyakit Pembunuh Ini
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Aceh, Dr dr Safrizal Rahman [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menganggarkan Rp 30 triliun untuk pendidikan para dokter dan belanja alat-alat medis, khusus menangani tiga penyakit 'pembunuh' di Indonesia yakni penyakit jantung, kanker dan stroke.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengakui bahwa fasilitas kesehatan secara nasional masih jauh dari kata cukup.
Dari 514 Kabupaten/Kota, baru 55 rumah sakit yang bisa melakukan pemeriksaan dan tindakan terhadap penyakit jantung, kanker dan stroke.
Menanggapi hal itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Aceh, Dr dr Safrizal Rahman menyambut baik serta turut antusias dengan adanya penganggaran tersebut, supaya negeri ini bisa memperbaiki tatanan fasilitas kesehatan yang masih jauh tertinggal dibanding negara lain.
"Contoh Malaysia, mereka biaya masuk peralatan medis dibebaskan pajak sehingga peralatan medis mereka pasti akan mendapat sesuatu yang paling mutakhir karena harganya jauh lebih murah dibanding beli di negara kita," ujarnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Minggu (22/1/2023).
Kemudian, sambungnya, anggarkan Rp30 triliun untuk pendidikan dokter khusus untuk 3 penyakit utama itu tentu saja baik. Artinya dapat meningkatkan jumlah dokter.
Menurutnya, wacana itu sudah tepat dan bagus, walaupun memang butuh biaya besar. Bila perlu disekolahkan ke luar negeri dengan ilmu mutakhir, pulang ke Indonesia diberi fasilitas yang memadai, pasti jumlah dokter akan meningkat.
Di samping, kata dr Safrizal, seharusnya tidak hanya fokus ke beberapa penyakit saja, tetapi juga secara keseluruhan dan jangan lupa peran preventif juga perlu ditingkatkan.
"Karena kalau pengobatan itu berapapun uang yang kita anggarkan tidak akan pernah cukup, tetapi kalau ada upaya preventif yang ditingkatkan, tentunya bisa mencegah orang menjadi sakit," jelasnya.
Berbicara mengenai kesiapan rumah sakit di Aceh menangani penyakit 3 penyakit utama itu, Safrizal mengaku Aceh masih sulit untuk fasilitas kesehatan, yang hanya mengandalkan RSUDZA.
"Sebenarnya, kita juga memiliki program RS Regional tetapi belum terealisasi dengan baik, masih ada kegambangan antara siapa yang menangani bagaimana tenaganya itu masih terjadi di Aceh, harusnya berkolaborasi dengan pemerintah daerah, universitas untuk menyediakan secepat mungkin, mencari jalan keluar untuk RS Regional sehingga menjadi pusat unggulan," ungkapnya lagi.
Ia menjelaskan, jika semua pasien mengandalkan RSUDZA pasti layanan disana akan menumpuk dan mengakibatkan waktu tunggu yang lama, menunggu terlalu lama dianggap pasien sebagai buruknya pelayanan padahal rumah sakit mengalami overload kapasitas.
Menurutnya, Aceh harus banyak belajar dengan daerah lain, ia melihat bagaimana Sumatera Selatan berkembang bagus dari sisi kesehatan dan pemerintah daerah membantu secara terbuka dan sangat intens kepada sistem kesehatan di daerah tersebut.
"Kalau sistem kesehatan tidak diupgrade maka masyarakat akan mencari pengobatan ke luar, peran pemerintah tentu besar karena butuh biaya besar mengupgrade itu," pungkasnya. [nor]