kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ketua Apdesi Aceh Tengah; Jubir MTA Soal Kemiskinan Jangan Mencari Pembenaran

Ketua Apdesi Aceh Tengah; Jubir MTA Soal Kemiskinan Jangan Mencari Pembenaran

Minggu, 22 Januari 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

DIALEKSIS.COM| Takengon- Pernyataan Juru bicara (Jubir) Pemerintah Aceh, Muhammad MTA yang menyinggung peran dana desa dalam pengentasan kemiskinan di Aceh, telah membuat aparatur desa di Aceh memberikan reaksi.

“Jubir Pemerintah Aceh jangan mencari pembenaran soal kemiskinan di Aceh dan kesanya pemerintah kampung di Aceh tidak memiliki program yang signifikan dan memperhatikan masyarakat miskin,” sebut Misriadi, ketua Apdesi Aceh Tengah, kepada Dialeksis.com, Minggu (22/01/20223).

Menurut Adi Bale panggilan akrabnya, apa yang disampaikan Jubir pemerintahan Aceh ingin menutupi kelemahan pemerintah Aceh dalam memperbaiki angka kemiskinan dan kesanya menuding pemerintah kampung tidak berbuat untuk itu.

Sebelumnya Jubir Muhammad MTA dalam keteranganya seperti yang dilansir Serambinews.com, menjelaskan, tanggung jawab untuk menekan angka kemiskinan bukan saja pemerintah provinsi, tapi yang lebih berperan adalah pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah gampong.

"Kerja-kerja menekan angka kemiskinan harus menjadi perhatian serius kabupaten/kota dan gampong," kata MTA.

Menurut MTA, ada hal pokok yang dilakukan pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Pertama menanggung beban masyarakat miskin, kedua meningkatkan taraf hidup atau daya bangkit masyarakat miskin.

"Provinsi dalam upaya ini sangat terfokus dalam dua hal ini, bahkan menanggung beban masyarakat miskin sangat prioritas, misalnya JKA dan rumah duafa. Kemudian untuk meningkatkan taraf hidup masa depan dikucurkan beasiswa anak yatim misalnya, selain pembangunan insfrastruktur seluruh Aceh," imbuhnya.

Dalam beberapa desk khusus dengan kabupaten/kota, lanjut MTA, pemerintah provinsi selalu menekankan agar kabupaten/kota selalu proaktif dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui program ril.

"Program prorakyat benar-benar menjadi prioritas bersama karena masyarakat secara geografis berada di kabupaten/kota dan gampong-gampong," sebut mantan aktivis ini.

Begitu juga dengan penggunaan dana desa yang mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. DPMG kabupaten/kota dan tenaga pendamping desa diharapkan benar-benar melakukan edukasi perangkat gampong agar menciptakan program-program yang benar-benar ril dalam meningkatkan daya ungkit perekonomian masyarakat.

Sejak tahun 2015-2022, Aceh sudah menerima Dana Desa (DD) Rp 34,48 triliun. Pada tahun 2022 Rp 4,6 triliun dan tahun 2023 bahkan sedikit meningkat menjadi sebanyak Rp 4,76 triliun.

Menurut MTA, pihak provinsi hanya bisa mengarahkan substansi-subtansi untuk program prorakyat, tetapi keseriusan di daerah harus menjadi perhatian bersama dan kalaborasi total agar dana desa dan APBK benar-benar bisa membangkitkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat diseluruh gampong.

"Karena angka kemiskinan merupakan akumulasi angka kemiskinan seluruh kabupaten/kota seluruh Aceh. Ini harus menjadi perhatian serius kabupaten/kota. Semoga ke depan kerja-kerja kita terus bersinergi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat," jelas MTA.

Keterangan MTA ini menurut Adi Bale sengaja menutupi kelemahan pemerintahan Aceh dalam pengelolaan dana dan kesanya perangkat kampung selama ini tidak memiliki program yang jelas, sehingga meminta pendamping untuk mengedukasi aparatur kampung.

Mengapa MTA tidak mengakui dan menjelaskan soal teguran Mendagri Tito Karnavian soal anggaran Aceh. Dimana Mendagri menjelaskan, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) yang masih timpang.

Sebagian besar APBA di Aceh habis untuk belanja pegawai, dan hanya menyisakan sedikit untuk pembangunan masyarakat. Hal itu menjadi salah satu penyebab Aceh masih miskin meski jumlah anggarannya lima besar tertinggi di Indonesia.

Mendagri secara gambling, sebut Adi Bale, menjelaskan, total APBA 16 triliun. Belanja pegawai hampir 60-70 persen untuk gaji pegawai dan tunjangan kinerjanya, ditambah lagi belanja barang jasa.

“Belanja barang jasa itulah operasional untuk pegawai lagi beli peralatan untuk pegawai, sementara yang untuk belanja modal pembangunan masyarakat itu 20 persen," sebut Adi Bale mengutip pernyataan Mendagri.

Mengdari sudah mengingatkan, kata Adi Bale, seharusnya belanja pegawai, administrasi dan lainnya itu lebih kecil dibanding dana belanja modal untuk kepentingan masyarakat. Aceh memiliki dana besar serta telah menerima dana otonomi khusus (otsus) sejak 2008 dengan total sekitar Rp 95 triliun.

"Anggaran (Aceh) nomor 5 terbesar di Indonesia dengan penduduk hanya 5 juta harusnya bisa memberikan impact," sebut Adi Bale yang menjelaskan, ini pernyataan Mendagri.

Bahkan, kata Adi Bale, Mendagri mengkritik kinerja pemerintah Aceh. Aceh masih miskin meski dana melimpah adalah kesalahan manajemen yang harus diselesaikan. Mendagri meminta uang Aceh tidak berhenti di tingkat elite pejabat saja.

"Komposisi belanjanya sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai barang jasa, yang untuk rakyatnya 20 persen-25 persen belanja modal. Itu mungkin kalau itu turun semua kalau seandainya terpotong lagi, waduh. Ini harus ada perbaikan," jelas Mendagri, seperti diungkapkan kembali Adi Bale.

"Di 2023 kesempatan emas mengubah manajemen ini berpikir sebagian besar anggarannya untuk rakyat dan bisa mengambangkan potensi yang bisa mendatangkan PAD. Aceh masih bergantung pada transfer pusat. Pendapatan dari PAD disebut kecil,” harap Mendagri.

Lantas sekarang mengapa Jubir Pemerintah Aceh mencari pembenaran soal kemiskinan di Aceh, seolah-olah pemerintah kampung tidak berbuat. Mengapa MTA tidak mengakui bahwa managemen pemerintah Aceh selama ini salah dalam memenagemen anggaran, kata Adi Bale.

Menurut ketua Apdesi Aceh Tengah ini, seharusnya pemerintah Aceh mengolakasikan APBA ke Kampung-Kampung untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Bila itu sudah dilakukan baru boleh mengkritisi kinerja aparatur kampung.

“Sampai saat ini kami belum menemukan adanya angka angka dalam APBA yang dialokasikan ke kampung-kampung untuk mendongkrak ekonomi masyarakat, lalu kemudian MTA menuding pemerintahan kampung. Ini tidak etis dan menutupi kesalahan,” sebut Adi Bale.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda