Kepala Daerah Berburu WTP, GeRAK Aceh Sebut Bukan Jaminan Bebas Korupsi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Askhalani, Koordinator Gerak Aceh (Dok Ist)
DIALEKSIS.COM | Aceh - Opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah menjadi keinginan para pengelola keuangan pemerintah. Para Pimpinan Kementerian/Lembaga, Gubernur, Bupati, dan Walikota, setiap tahun berusaha untuk memperoleh memperoleh opini tersebut.
Di satu sisi, terdapat kementerian/lembaga atau pemerintah daerah yang telah mendapatkan opini WTP, tetapi korupsi masih terjadi pada kementerian/lembaga atau pemerintah daerah tersebut. Tidak sedikit pula yang terjaring operasi tertangkap tangan (OTT) oleh penegak hukum.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2018 saja, ada 10 kepala daerah penerima opini WTP yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Artinya WTP tidak menjamin seorang kepala daerah bersih dari korupsi.
Fenomena masih banyaknya daerah, kementerian dan lembaga-lembaga negara saling "berlomba" mendapatkan WTP, menjadi penegas seolah-olah WTP adalah finishline-nya.
Untuk Pemerintah Aceh sendiri sudah mendapatkan opini WTP sebanyak enam kali secara berturut-turut sejak tahun 2015-2020.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat menjadi salah satu kabupaten yang pernah mendapatkan predikat WTP, baru saja memperoleh WTP atas laporan keuangan tahun anggaran 2021. Ini merupakan WTP ke delapan kali berturut-turut yang berhasil diraih oleh Pemkab Aceh Barat.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya kembali meraih WTP usai penyerahan LHP atas laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya Tahun Anggaran 2020. Itu merupakan WTP untuk 8 kalinya.
Menanggapi hal itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan opini WTP bukan jaminan bahwa satu daerah bebas korupsi.
Menurutnya, Predikat WTP yang menjadi salah satu indikator yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk mendapatkan dana insentif daerah menjadi salah satu masalah baru di Indonesia.
“Hampir semua kepala daerah berlomba-lomba dengan berbagai cara dan modus untuk mendapatkan predikat WTP atas hasil audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas pertanggungjawaban APBD oleh BPK-RI,” jelasnya kepada Dialeksis.com, Minggu (8/5/2022).
Tetapi faktanya, kata dia, hampir sebagian besar LHP BPK tidak linear dengan fakta yang sesungguhnya, dan bahkan cenderung hasil audit BPK lebih banyak pada upaya negosiasi dengan kepala daerah, supaya sampel yang diaudit bukan yang dapat berpotensi dan berdampak pada dugaan korupsi.
Askhalani menjelaskan, WTP atas kinerja yang dilakukan oleh BPK lebih pada sample tertentu dan tidak semua atas laporan hasil pertanggungjawaban keuangan diaudit.
“Makanya disinilah adanya modus negosiasi dan barter tertentu, supaya daerah-daerah yang telah diaudit mendapatkan predikat WTP,” jelasnya lagi.
Lanjutnya, hal itu sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian auditor BPK adalah konsultan keuangan pemerintah daerah dan dibalik tersebut ada transaksi haram yang sering terjadi antara pihak auditor dengan kepala daerah, termasuk dugaan suap menyuap serta pemberian barang atau benda tertentu yang masuk dalam tindakan gratifikasi.
“Perlu dipahami bahwa audit LHP tahunan oleh BPK adalah audit kepatuhan pengelolaan keuangan daerah dan bukan audit forensik untuk mencari fakta dugaan tindak pidana,” kata Askhalani menjelaskan.
Jadi, katanya, karena audit LHP adalah sebuah keharusan setiap tahun maka tidak terlalu heboh. Karena di balik LHP BKP terdapat sebagaian besar transaksi haram untuk mendapatkan predikat WTP.