Beranda / Opini / Status "WTP"(Wajar Terima Pembayaran), Pencitraan Daerah ke Masyarakat?

Status "WTP"(Wajar Terima Pembayaran), Pencitraan Daerah ke Masyarakat?

Minggu, 08 Mei 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Ari Junaedi Akademisi dan konsultan komunikasi, Foto: Ist


Cerita kesuksesan pemerintahan daerah kerap “disenandungkan” oleh para kepala daerah sebagai penanda keberhasilan kepemimpinannya. Menjadi kredo wajib, kepala daerah yang akan “running” di periode kedua harus memiliki bukti-bukti kemoncerannya memimpin daerah.

Belum lagi, hampir 90 persen lebih pasangan kepala daerah produk pemilihan kepala daerah (pilkada) pecah kongsi di periode berikutnya sehingga ajang penghargaan harus direbut oleh pemimpin daerah.

Penghargaan yang diraih menjadi salah satu amunisi ajang kampanye untuk menaikkan elektabilitas sekaligus popularitas calon kepala daerah. Tidak ada wakil gubernur yang sukses, yang hebat adalah gubernurnya. Tidak ada wakil walikota yang hebat, yang dasyat adalah walikotanya.

Dan tidak ada wakil bupati yang keren, yang jago adalah bupatinya. Ini adalah mindset pasangan kepala daerah yang “pisah ranjang” ketika beda kepentingan dan beda rezeki yang kerap ditemui di daerah daerah.

Padahal kekompakan kepemimpinan kepala dan wakil kepala daerah menjadi koentji keberhasilan daerah dalam meningkatkan harkat kehidupan warga dan kemajuan daerahnya.

Sejarah keberhasilan duet kepemimpinan di beberapa daerah ternyata tidak memantik daerah-daerah lain untuk sekedar meng-copy paste.

Retaknya dwi-tunggal DKI Jakarta di era Fauzi Bowo “ Prijanto misalnya, menjadi noktah sejarah kepemimpinan daerah yang gagal mengosolidasi potensi mereka berdua dalam memajukan Jakarta (Kompas.com, 26 Desember 2011).

Bayangkan saling tidak tegur sapa jika bersua, saling menghindar jika bertemu dalam suatu acara dan sama-sama mengumbar kekurangan pasangan di media, menjadi gambaran betapa sia-sianya pilihan rakyat dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sebaliknya DKI Jakarta di era Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama berhasil melesatkan Ibu Kota setaraf dengan ibu kota di negara-negara maju. Sekali lagi, koentji-nya adalah kekompakan dan saling memahami kelebihan serta kekurangan pasangan masing-masing.

Jokowi memiliki kelebihan menyerap aspirasi dan paham persoalan dengan turun ke lapangan sementara Ahok “menjaga” Balai Kota dengan menuntaskan pekerjaan-pekerjaan administrasi. Mereka rukun dan tidak saling mengusik fasilitas dan previlege yang diterimanya.

Beberapa bulan yang lalu, Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, saling berseteru di publik bahkan ada salah satu pihak yang melaporkan ke pihak berwajib karena tuduhan pencemaran nama baik (Kompas.com, 25 September 2021).

Kejadian seperti ini tentu saja tidak memberikan kontribusi positif bagi kemajuan daerah. Alih-alih memenuhi janji-janji kampanyenya, justru masing-masing kubu sibuk “membelejeti” kekurangan dan kelemahan pasangan.

Beberapa institusi swasta menangkap peluang demand yang tinggi dari kepala daerah akan artefak-artefak kesuksesan walau terkadang parameter yang dijadikan ukuran penilaian tidak kredibel. Jangan heran, proposal gelaran-gelaran bupati “terinovatif” atau gubernur yang visioner versi A atau kepala daerah yang memecahkan rekor versi B tetapi ada ajuan nominal biayanya, jamak dijumpai menyasar ke daerah-daerah. 

Tidak ada yang gratis, semuanya berbayar. Uniknya, penghargaan model ini kerap dibanggakan oleh para kepala daerah. Padahal, pemerintah sendiri seperti Kementerian Dalam Negeri secara rutin mengadakan lomba inovasi daerah dengan penjurian yang kredibel saban tahunnya.

Kementerian Pertanian juga punya lomba Adhibakti untuk standar pelayanan, pengakuan kemanfaatan dari masyarakat serta dukungan terhadap pembangunan sektor pertanian.

Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) juga rutin mengganjar penghargaan bagi kompetisi inovasi pelayanan publik di daerah atau Sinovik setiap tahunnya.

Justru Sinovik menjadi ajang bergengsi bagi daerah untuk unjuk kerja dan unjuk prestasi atas inovasi pelayanan publik yang dilakukan untuk mengefisienkan kerja birokrasi yang njlimet.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur yang “langganan” juara Sinovik karena inovasi pelayanan berbagai dinas kepada warga memang terbukti bisa memangkas kelambanan sistem birokrasi di berbagai dinas.

Banyuwangi kerap dijadikan rujukan bagi daerah-daerah lain berkat layanan birokrasi yang memudahkan warga.

WTP: Antara penghargaan dan ada harganya

Kasus rasuah Bupati Bogor, Ade Munawaroh Yasin, yang beberapa hari lalu dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bukti penegas bahwa kepala daerah “merindu” akan beragam atribut kesuksesan kepemimpinannya (Kompas.com, 29/04/2022).

Kasus suap yang menimpa adik kandung Bupati Bogor Rahmat Yasin yang juga sama-sama menjadi pelaku rasuah dan tertangkap KPK, memang terkait dengan upaya Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk Tahun Anggaran 2021 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Untuk mendapatkan predikat WTP, oknum-oknum di Pemerintah Kabupaten Bogor saling sepakat untuk menyetorkan dana kepada oknum-oknum BPK Perwakilan Jawa Barat. Nilai transaksinya hingga kasus ini terungkap KPK “baru” mencapai Rp 1,02 miliar.

Bupati Ade Munawaroh Yasin seperti halnya kepala daerah-kepala daerah lain yang menjadi “pesakitan” kasus rasuah, jelas menolak tuduhan KPK tersebut.

Menurut dia, ide pemberian gratifikasi kepada oknum BPK tidak terlepas dari inisiatif anak buahnya untuk mendapatkan status WTP.

Bupati Ade Yasin ngeles bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan anak buahnya memberikan suap kepada oknum-oknum BPK. Bupati Ade Yasin berkilah dirinya menjadi korban IMB alias inisiatif membawa bencana.

Jelasnya lagi, inisiatif pemberian suap datang dari anak buahnya tetapi yang dipaksa bertanggungjawab adalah bupatinya. Dari logika transaksional yang lumrah terjadi, datangnya inisiatif tidak melulu datang dari salah satu pihak.

Galibnya kedua belah pihak sama-sama berinisiatif serta aktif, baik yang menawarkan jasa atau barang serta pihak yang akan memanfaatkan jasa atau barang tersebut.

Publik mungkin masih ingat dengan kasus suap pejabat di BPK dari pejabat Kementerian Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) yang pernah dibongkar KPK tahun 2017.

Ketika itu, para pejabat di Kementerian PDTT berharap mendapat pemberian opini WTP dan bersedia “melepas” commitment fee sebesar Rp 240 juta ditambah Rp 1,145 miliar serta “printilan” tiga ribu dolar AS.

Tidak tanggung-tanggung, oknum BPK yang menjadi calo jual beli status WTP adalah audiotor dan “bos-nya” adalah pejabat eselon I BPK (Kompas.com, 27/05/2022).

Prinsip “Lu Jual Gua Beli” dalam pengalaman saya yang kerap berinteraksi dengan sejumlah kepala daerah di daerah-daerah, memang benar adanya dengan predikat WTP yang bertarif.

Sekitar empat tahun yang lalu, status WTP untuk level kabupaten bernominal Rp 600 juta. Sekali lagi, ada demand tentu ada supply. WTP yang diperjualbelikan oknum BPK, tentu datang akibat ada kebutuhan “pengakuan” dari kepala daerah serta ada penawaran untuk peluang bagi proses penerbitan WTP.

Karena itu jangan heran, usai mendapatkan status WTP maka dinas komunikasi informasi di daerah-daerah akan segera memasang spanduk raihan “prestasi” status WTP. Lengkap dengan foto bupati, walikota atau gubernur.

Jika yang terpasang foto tunggal kepala daerah, dapat dipastikan hubungan dengan wakil kepala daerahnya sedang tidak harmonis. Tetapi apabila spanduk yang terpasang lengkap dengan foto dwi-tunggal kepemimpinan daerah, maka terindikasi hubungan kepala dan wakilnya sedang akur.

Selain ramainya iklan ucapan selamat atas raihan status WTP di media-media, dinas-dinas yang lain di luar dinas komunikasi informasi di daerah-daerah, juga tidak kalah gegap gempitanya mengucapkan selamat atas raihan status WTP. Mirip dengan pertunjukan topeng monyet di kampung-kampung, sesama pemainnya saling sorak menyoraki.

Ironis memang, sandiwara lelucon WTP kerap kita jumpai jika kerap “piknik” ke daerah-daerah. Festival spanduk ucapan WTP menjadi euforia di republik yang gila hormat.

Seolah-olah predikat status WTP adalah kebanggaan dan pengakuan akan pengelolaan pemerintahan yang akuntabel dan bebas dari korupsi. Pesan ini harus ditangkap oleh publik dan menjadi sinyal positif akan pencitraan yang baik dari kepala daerah.

Apa yang salah dengan WTP?

WTP sendiri diberikan BPK sebagai pemberian opini atas hasil pemeriksaan laporan keuangan daerah sesuai dengan Standar Akuntasi Pemerintahan (SAP).

Harus diakui, kelemahan penyusunan laporan keuangan baik di daerah-daerah ataupun kementerian lebih dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia yang paham akuntasi pemerintahan.

Belum lagi, ketidakcermatan sistem pengendalian internal menjadi kendala tersendiri. Khusus untuk daerah, adanya tarik menarik kepentingan politik eksekutif dan legeslatif juga kerap menabrak aturan-aturan yang ada.

Padahal semua laporan keuangan harus tetap disajikan secara akuntabel. Dilema inilah yang ikut “mengundang” fenomena jual beli pemberian opini status WTP.

Lebih “ambyarnya” lagi, beberapa kepala daerah yang daerahnya kerap mendapat status WTP justru berakhir dengan penyematan rompi oranye dari KPK alias bermasalah untuk urusan pat gulipat duit haram.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2018 saja, ada 10 kepala daerah penerima opini WTP yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Artinya WTP tidak menjamin seorang kepala daerah bersih dari korupsi. Ke-10 penerima WTP tetapi kepala daerahnya nggragas alias kemaruk fulus antara lain; Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Bupati Bangkalan Fuad Amin, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo.

Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, Walikota Tegal Ikmal Jaya, Walikota Blitar Samanhudi Anwar, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, serta dua Gubernur Riau masing-masing Rusli Zainal dan Annas Maamun, (Merdeka.com, 16 Desember 2018).

Dagelan lucu tentang WTP mungkin bisa menyimak kisah “sukses” Bupati Banjarnegara Budi Sarwono yang berhasil menyabet predikat WTP hingga lima kali berturut-turut untuk periode 2013-2017.

Tidak tanggung-tanggung, sebelum Budi Sarwono dibekuk KPK karena kasus suap Rp 18,7 miliar dan gratifikasi senilai Rp 7,4 miliar dalam kasus korupsi proyek pembangunan infrastruktur di Banjarnegara, malah pernah dianugerahi penghargaan yang diserahkan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Acara yang digelar meriah di Jakarta, pada 20 September 2018 bertepatan dengan berlangsungnya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2018 dengan tema “Pengelolaan Keuangan Negara yang Sehat untuk Indonesia Kuat”.

Sejatinya, predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) harus berkorelasi dengan kinerja pembangunan di daerah atau kementerian serta lembaga negara karena pada akhirnya pertanggungjawaban keuangan negara secara akuntabel adalah instrumen untuk mencapai tujuan pembangunan.

Fenomena masih banyaknya daerah, kementerian dan lembaga-lembaga negara saling "berlomba” mendapatkan WTP, menjadi penegas seolah-olah WTP adalah finishline-nya.

Padahal WTP itu baru bagian dari garis star awal untuk pengelolaan keuangan yang akuntabel secara berkelanjutan. Komitmen Kepala BPK yang baru sekaligus perempuan pertama yang menjadi orang nomor 1 di BPK, Ismayatun, untuk menegakkan integritas, independensi, serta profesionalisme dalam setiap pelaksanaan tugas BPK wajib kita tagih terus.

Penonaktifan Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat beserta staf pemeriksa yang terlibat dalam kasus rasuah Bupati Bogor, Ade Munawaroh Yasin, setidaknya menjadi bukti ketegasan Ketua BPK sembari dukungannya terhadap langkah KPK dalam pemberantasan korupsi.

Benar kalimat bijak yang menarasikan, untuk membersihkan lantai supaya bersih jangan gunakan sapu yang kotor. Saatnya “sapu-sapu yang kotor” dienyahkan dari BPK agar unsur trust yang telah hilang bisa menjadi penguat nilai-nilai dasar BPK yang harus ditaati setiap pegawai BPK.

WTP harus dikembalikan marwahnya sebagai “Wajar Tanpa Pengecualian” bukan lagi “Wajar Terima Pembayaran”.


Penulis Ari Junaedi Akademisi dan konsultan komunikasi (Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Antara Gengsi Daerah dan "WTP" (Wajar Terima Pembayaran)", 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda