kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Kasus Anak Diperkosa di Aceh Besar Dihukum 15 Tahun Penjara, KPPAA Apresiasi Kinerja Penegak Hukum

Kasus Anak Diperkosa di Aceh Besar Dihukum 15 Tahun Penjara, KPPAA Apresiasi Kinerja Penegak Hukum

Kamis, 04 Februari 2021 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora

[Net]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) sangat mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual anak di aceh besar, apalagi majelis hakim Mahkamah Syariyah Jantho telah menjatuhkan vonis 180 bulan penjara kepada pelaku, melebihi dari tuntutan jaksa 150 bulan.

180 bulan penjara itu sama dengan 15 tahun penjara dan ini membuktikan kalau aparat penegak hukum serius dan tidak main-main dalam menjatuhkan sanksi/vonis kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

KPPAA berharap dengan keluarnya SURAT EDARAN Kejaksaan Agung Republic Indonesia, Nomor: SE/E/Ejp/11/2020 tentang "Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dengan Hukum Jinayat di Aceh dan SURAT EDARAN Mahkamah Agung Republic Indonesia, Nomor 10 tahun 2020 tentang Pemberlakukan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan" diharapkan dapat menyatukan pandangan aparat penegak hukum dalam penanganan Perkara Jinayat di Aceh.

Surat edaran tersebut, dapat menjawab persoalan, keresahan dan kegelisahan masyarakat terhadap vonis yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yang selama ini dianggap masih ringan dan belum memberikan rasa keadilan bagi korban.

Salah satu isi dari surat edaran tersebut adalah “Dalam Perkara Jarimah Pemerkorsaan/jarimah Pelecehan seksual yang menjadi korbannya adalah anak, maka untuk menjamin perlindungan terhadap anak kepada terdakwa harus dijatuhi uqubat ta’zir berupa penjara” sedangkan “dalam hal pelaku jarimahnya adalah anak, maka uqubatnya mengikuti ketentuan Pasal 67 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

"Tugas kita saat ini adalah terus memantau penanganan perkara kekerasan seksual terhadap anak dan harus berani untuk melaporkan setiap ada kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, kepada perangkat desa, lembaga penyedia layanan atau kepolisian. Meskipun pelakunya adalah orang-orang terdekat anak atau orang yang tidak dikenal oleh anak," jelasnya.

"Karena jika kasus tersebut tidak dilaporkan maka posisi pelaku akan sangat diuntungkan, pelaku akan bebas bergerak kemanapun yang diinginkannya, bahkan dapat mencari dan mengulangi lagi kejahatannya tersebut kepada anak-anak yang lain," lanjutnya.

Menurut pihak KPPAA, Jika pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak memperoleh hukuman yang tepat dan sesuai dengan permasalahannya, maka dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis pada korban.

Korban (anak) akan merasakan rasa tidak aman dan nyaman terhadap lingkungan dan sistem hukum maupun pemerintahan yang menyebabkan hambatan dalam perkembangan rasa percaya terhadap lingkungan maupun masalah psikologis lainnya.

Setelah pelakunya dihukum, upaya rehabilitasi dan reintegrasi harus tetap diberikan terhadap korban, seperti penanganan sosial berupa pemulihan nama baik korban, yaitu pernyataan bahwa korban tidak bersalah dengan memperlakukan mereka secara wajar.

Kemudian, penanganan kesehatan berkaitan dengan reproduksinya maupun psikisnya, seperti korban mengalami depresi, trauma dan tekanan priskolosis lainnya, karena tidak sedikit korban kekerasan seksual terhadap anak mengalami kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan baik, mengalami ketakutan dan kecemasan.

Hal itu mengakibatkan dirinya susah bergaul dengan lingkungan sekitarnya, pemberian jaminan keselamatan bagi korban sangat dibutuhkan dan penting mempersiapkan lingkungan yang dapat memberikan kenyamanan bagi korban.

"Sehingga korban dapat melupakan traumanya untuk menggapai masa depan yang lebih baik," tutupnya.


Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda