kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ini Penyebab Gubernur Aceh Bisa Selewengkan Dana Otsus

Ini Penyebab Gubernur Aceh Bisa Selewengkan Dana Otsus

Minggu, 08 Juli 2018 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (kemeja putih) dikawal sejumlah petugas saat akan menjalani pemeriksaan penyidik KPK (Foto: bisnisjakarta.co.id)

DIALEKSIS.COM | Jakarta- Masyarakat Indonesia tengah dihebohkan dengan ditangkapnya Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dalam operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aceh selaku daerah yang memiliki otonomi khusus (otsus) pun tak lepas dari praktik korupsi.


Kasubdit Pemerintah Aceh, DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta Direktorat Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri, Raden Sartono mengungkapkan, beberapa penyebab adanya penyelewengan di dana otsus.


Sistem sentralisasi anggaran otsus yang berpusat di tingkat Provinsi ditengarai menjadi salah satu penyebabnya. Dengan sistem ini, makanya pengawasan oleh pemerintah terhadap dikeluarkannya anggaran menjadi kurang maksimal.


"Nah peluang yang kemungkinan terjadi kenapa jadi sebuah penyimpangan tentu ini menjadi karena adanya sentralisasi di Provinsi," ungkap Sartono di Gedung Kemendagri Jalan Medan Merdeka Utara, Jumat (6/7).


Sentralisasi Provinsi yang dimaksudnya adalah ketika ada Qanun (aturan setingkat Perda) Nomor 2 Tahun 2008 direvisi menjadi Qanun Nomor 2 Tahun 2013 yang memberikan kewenangan pengelolaan dana otsus kepada Kabupaten, Kota. Adanya perubahan aturan ini dinilainya memberikan celah kepada oknum aparat.


"Pengaturan Qanun 2/2008 ini di sentralisasi lalu Qanun 2008 ini dikondisikan di dalam perjalanannya ini, kemudian tahun 2013 direvisi dan propoporsinya dirubah terbagi menjadi 60 dan 40 (Provinsi 60 persen, Kabupaten 40 persen) ini juga berlaku di 2013-2017," jelas Raden.


"Atas dinamika itu ada kelebihan dan kekurangan ketika pelaksanaan Kabupaten, Kota itu ditransfer langsung dari pusat, di dalam pelaksanaan kurang kontrol, ini juga dinamikanya," lanjutnya.


Atas pertimbangan pemerintah, sistem itu kemudian kembali dirubah. Pada 2018 pengelolaan dana otsus kembali dikelola oleh Provinsi, yang sebelumnya telah diusulkan terlebih dahulu oleh pemerintah Provinsi melalui Murenbang. Adanya pengembalian dari sistem baru ke sistem lama juga dianggap menjadi celah terjadinya penyelewengan.


"Kemudian dinamika desentralisasi sesuai dengan amanat UU itu kita kondisikan di provinsi kemudian pola itu kembali mulai tahun 2018 berdasarkan Qanun 10/2016, kemudian proses itu terjadi di dalam regulasi Provinsi memang ini melihat suatu usulan amanat di dalam program kegiatan untuk penggunaan dana Otsus mengenai infrastruktur dan pengentasan kemiskinan," kata Sartono.


Meski demikian Sartono menegaskan, jika proses pengajuan dana Pemprev Aceh melalui Musrenbang sudah baik. Namun karena proposal dana untuk Kabupaten dan Kota itu diseleksinya ditingkat Provinsi oleh tim yang dibentuk Gubernur, maka celah penyelewengan dana kembali terbuka.


"Beberapa Qanun terakhir ini sebenernya sesuai dengan kriteria dan aturan tertentu sehingga proposal itu diselektif. Namun Ini yang jadi kemungkinan terjadi (penyelewengan) karena proposal Kabupaten/Kota itu diseleksi di tingkat Provinsi oleh Tim Provinsi, karena ada tim yang dibentuk oleh Gubernur. Inilah kemungkinan celah-celah itu di dalam sistem evaluasi yang sentralisasi Provinsi dan desantrailisasi yang ada di Aceh," pungkasnya.


Oleh sebab itu Sartono berharap nantinya semua pihak baik pemerintah pusat maupun KPK semakin ketat dalam melakukan pengawasan terhadap dana otsus. Dengan demikian diharapkan tidak kembali terjadi kasus seperti yang menimpa Gubernur Aceh.


(sat/JPC)

Keyword:


Editor :
HARISS Z

riset-JSI
Komentar Anda