Hukum Adat! Keberadaannya Dipandang Perlu Revitalisasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Dr Sulaiman Tripa. [Foto: ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Secara garis besar, hukum adat adalah hukum kebiasaan yang artinya aturan dibuat dari tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga menjadi sebuah hukum yang ditaati secara tidak tertulis. Keberadaan hukum adat juga secara resmi telah diakui oleh negara.
Meski demikian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Sulaiman Tripa menjelaskan bahwa secara teoritis, dalam sistem hukum (hukum tata negara sebagai sub-sistem), hukum adat dan hukum negara memiliki konsep yang berbeda.
Dr Sulaiman menjelaskan bahwa hukum negara berbasis pada hukum positif. Hukum adat berbasis pada hukum yang hidup. Mazhab hukumnya juga berbeda. Sehingga secara teoritis, kedua hukum itu berbeda dan tidak mesti diakui.
Masalahnya, kata Dr Sulaiman, karena penyatuan hukum yang terjadi di negara Indonesia mengharuskan seolah-olah semua hukum adat baru bisa berlaku setelah hukum negara mengakui. Padahal secara teoritis keduanya berada dalam dua konsep berbeda.
“Semua hukum (hukum adat, hukum Islam, dan hukum-hukum lainnya) ketika sudah dipositifkan, maka ia jadi hukum negara dalam bentuk tertulis,” ujar Dr Sulaiman Tripa yang juga pengajar Forum Aceh Menulis (FAMe) kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (10/10/2022).
Dalam hal tertentu, Dr Sulaiman juga membenarkan hukum adat di Aceh cenderung hidup secara simbolis. Hal ini, kata dia, karena orientasi pembangunan hukum adat tidak ada. Maka jika pengambil kebijakan secara luas, hukum adat akan bisa mendapat tempat secara maksimal dan tidak hanya sebatas simbol.
Dahulu mukim disebut sebagai penguasa adat. Sekarang mukim tak bisa melaksanakan adat dengan baik. Menurut Dr Sulaiman, yang selama ini dilaksanakan mukim lebih kepada apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, bukan hukum adat.
Akibat benturan ini, kemudian mukim dianggap sebagai simbol adat, bukan lagi penguasa adat. Menurut Dr Sulaiman, yang dimaksud simbolik karena selama ini mukim masih leluasa dengan adat-adat yang simbolik. Sedangkan adat mengatur ruang, mengatur lingkungan, dan lain-lain, tidak bisa dilaksanakan secara operasional.
Di sisi lain, Dr Sulaiman membenarkan bahwa posisi hukum adat bakal terdegradasi dimakan waktu karena hukum adat di luar hukum negara. Makanya untuk melestarikan hukum adat dibutuhkan proses penguatan.
“Jika tidak dilakukan penguatan dan pengembangan, pelan-pelan apa yang disebut hukum adat akan terkurangi dalam praktik,” ungkapnya.
Menurut pria yang berhasil menulis 44 buku dalam setahun, cara agar hukum adat kembali mendapat posisi dalam kehidupan sosial bermasyarakat ialah dengan proses revitalisasi dalam bentuk pengembangan.
"Memang bukan kembali ke masa lalu, tapi adat tetap butuh penyesuaian dengan keadaan masa kini. Tapi secara operatif, hukum adat itu harus dioperasionalkan, walau dalam konteks masa kini,” pungkasnya.(Akh)