Fajran Zain: Aceh Jangan Takut Kehilangan Dana Otsus
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aldha Firmansyah
Pengamat politik, Fajran Zain. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Anggota Badan Legislasi (Banleg) DPR-RI asal Aceh, TA Khalid memberikan tanggapan soal wacana revisi UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dikaitkan dengan upaya perpanjangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh.
Pengamat politik, Fajran Zain berpendapat, bahwa terkait dengan dana otsus Aceh memang akan kehilangan income sebesar 3,5 trilun pertahun.
Selama 15 tahun terakhir Aceh mendapatkan tambahan anggaran sekitar 7 trilyun/tahun, dari sektor dana Otsus atau sebesar 2 persen. Untuk 5 tahun terakhir angka itu turun menjadi 1 persen saja atau dengan bahasa lain Aceh akan kehilangan 3.5 trilun/tahun.
Namun kehilangan ini bukanlah hal yang mengkhawatirkan jika Pemerintah Aceh bisa mengompensasikannya dengan menggalang alternatif sumber income lain yang feasible dalam kacamata perundang-undangan.
Misalnya, dari sektor pengelolaan sumber daya alam dan sektor pajak, yang mana penghasilan dari pengelolaannya tetap tinggal di Aceh, dan tidak dikirimkan ke Jakarta.
Dari kedua sektor ini, jika dihitung semuanya maka angka penerimaan untuk Aceh bisa melebihi dari angka 3,5 triliun.
Menurutnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan turunnya penerimaan dana otsus dari 2 persen menjadi 1 persen saja.
Pertanyaanya, apakah kita mampu mengompensasi kehilangan itu dengan kewenangan pengelolaan SDA secara lebih berdaulat seperti yang diatur dalam UUPA pasal 156, misalnya.
Hal ini belum termasuk potensi sumber-sumber income lainnya yang berbasis pada pengembalian kewenangan kepada pemerintah Aceh sesuai dengan muatan kekhususan dalam MoU Helsinki dan UUPA
“Kita mempunyai banyak sumber income yang lain, yang merupakan hak Aceh kita seperti yang diatur dalam MoU. Kesannya saat ini seolah-olah kita mengemis pada Jakarta untuk mendapatkan 3,5 trilyun yang akan hilang mulai tahun 2027 ini, dan kesannya uang itu diberikan oleh Pemerintah kepada Aceh atas budi baik mereka, padahal tidak. Itu memang hak Aceh, dan Aceh bahkan berhak dan berpotensi untuk mendapatkan lebih dari itu jika kewenangan seperti yang diatur dalam MoU Helsinki benar-benar dilaksanakan,” kata Fajran kepada Dialeksis.com, Rabu (27/7/2022).
Disamping itu, hilangnya 3.5 trilyun itu juga tidak akan berdampak banyak bagi jalannya roda pemerintahan. Terbukti selama ini selalu saja ada dana SILPA, dana yang dikembalikan ke Jakarta, yang angkanya juga berkisar di angka 3 trilyunan pertahun, bahkan tahun 2021 yang lalu menembus angka 4 trilyun.
Anehnya sebelum perjanjian damai ditandatangani tahun 2005, besaran APBA kita ada di kisaran 5 trilyun pertahun, dan pernah kita dengar istilah Aceh provinsi miskin dan provinsi bodoh, lalu kenapa setelah angka-angka APBA kita membengkak 3 kali lipat, terutama karena adanya penambahan dari sektor dana otsus, lalu kedua label itu melekat pada Aceh. Signifikankah dampak dana otsus untuk kesejahteraan rakyat selama ini?
“Maka pendekatan yang lebih make sense saat ini adalah upaya optimalisasi muatan UUPA yang didalamnya misalnya mengatur soal sumber pemasukan alternatif dari sektor mineral, panas bumi dan pertambangan secara umum. Hal ini telah diatur dengan rinci dalam pasal 156 UUPA bahwa pengelolaan SDA berada dalam kewenangan Pemerintah Aceh, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Keuntungannya murni dan bulat untuk Pemerintah Aceh,” ungkapnya.
Ia menambahkan, sayangnya ketika diterbitkannya UU Minerba oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2020 yang lalu, kewenangan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA itu malah hilang, yang begini-begini ini yang perlu diadvokasi, tutup Fajran. (Alda)