kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Eks Kader Parpol Bisa Jadi Calon Anggota KPU, Ini Respon JPPR

Eks Kader Parpol Bisa Jadi Calon Anggota KPU, Ini Respon JPPR

Kamis, 21 Oktober 2021 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Timsel KPU-Bawaslu) mengumumkan sejumlah syarat pendaftaran bakal calon anggota KPU dan Bawaslu. Pendaftaran akan dibuka pada 18 Oktober-15 November 2021.

Adapun syarat yang dilampirkan yang menjadi pembahasan masyarakat yaitu, eks narapidana yang diancam dengan pidana di bawah lima tahun masih diperbolehkan. Kemudian, Dia (Calon) eks BUMN, eks Anggota/Pengurus Partai Politik (Parpol) juga bisa mendaftar dengan melampirkan syarat yang ada di Laman website https://seleksikpubawaslu.kemendagri.go.id/pendaftaran/kpu.

Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita mengatakan, pada prinsipnya yang menjadi anggota KPU adalah semua warga negara Indonesia ini mempunyai hak.

“Hak untuk bisa dipilih dan bisa terlibat didalam persoalan pengambilan kebijakan ditingkatan pusat ataupun daerah/wilayah,” ujar Dian kepada Dialeksis.com, Kamis (21/10/2021).

Tapi, Kata Mita, persoalan bahwa dia mantan pengurus Parpol, kemudian dia akan menjadi penyelenggara Pemilu memang sebaiknya, kalau menurut saya tidak (Anggota/Pengurus Parpol).

“Cuma kan memang peraturan itu tidak mendukung itu secara bulat, aturan itu sebetulnya diperbolehkan, kemudian punya jeda satu kali dengan hitungannya 5 tahun, atau satu kali ketika dia mundur tercatat,” jelas Dian Paramita yang juga merupakan Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) JPRR periode 2021-2023.

Kemudian, Kata Mita, seperti mantan Narapina itu juga menjadi catatan. Sebenarnya yang dapat menilai itu adalah timsel, karena, ketika yang bersangkutan itu maju, kemudian terdapat catatannya.

“Memang secara hubungan emosional, itu akan tetap terikat,” tukasnya.

Lanjutnya, Mita menjelaskan, bagaimanapun juga ketika sudah melebur ke Parpol dan masuk ke penyelenggara itu dikhawatirkan adanya keberpihakan kira-kira dalam proses-proses pengambilan kebijakan, memberikan wejangan, memberikan koordinasi dan konsolidasi dalam proses penyelenggaraan pemilu.

“Dikhawatirkan adanya Conflict of Interest (Konflik Kepentingan),” tegasnya.

Mita menyampaikan, tapi memang dalam perjalanannya, dari Pemilu sejak 1999, 2004, 2009, sebetulnya kondisi pemilu elektoral kita inikan SDM nya sebetulnya sudah terlatih.

“Tapi, terlatihnya ini tetap memiliki backgroundnya masing-masing yang sebetulnya irisannya itu bisa kemana-mana, bisa jadi berasal Ormas, LSM, Aktivis, yang sebetulnya Parpol ini menjadi muara bagi semua orang itu berhak untuk mendapatkan kekuasaan, atau semua itu berhak melakukan negosiasi Politik,” kata Mita.

Ketika dia itu tidak terlibat lagi di Penyelenggara, tetapi dia punya kedekatan dengan orang lain atau temannya, Kata Mita, bisa saja terjadi Conflict of Interest. “Apalagi yang bersangkutan sudah 5 Tahun yang lalu (Pengurus/Anggota Parpol), kemudian dia maju, menurut saya dia itu bisa menjadi gerbongnya, dalam hal ini otomatis yang menjaga itu adalah timselnya,” jelasnya.

Lanjutnya, ”Kita sebagai masyarakat sipil juga bisa memberikan masukan, meskipun kenyataannya tidak ada aturan yang khusus untuk itu, ya artinya 5 tahun itu bolehkan, toleransinya itu,” tambahnya.

Dalam hal ini, Menurutnya, lebih baik timsel itu mengutamakan atau mendahulukan orang-orang yang mempunyai Integritas yang betul-betul non-partisan.

“Serta mempunyai pengalaman atau memiliki Background pemilu yang cukup, apalagi mempersiapkan Pemilu 2024,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda