ASN Bakal Ganti Gubernur Aceh, Nasrul Zaman: Itu Prosedur Yang Resmi
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Pengamat kebijakan publik, Dr Nasrul Zaman. [Foto: Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditunjuk untuk menggantikan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh mulai tahun 2022 oleh Presiden Joko Widodo. Hal itu merujuk aturan peralihan kepemimpinan jelang Pilkada Serentak 2024, yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pengamat kebijakan publik, Dr Nasrul Zaman, Sabtu (25/9/2021) mengatakan, hal itu masih pada UU pemerintah daerah dan UU Pilkada.
“Itu masih dalam koredur aturan perundang-undangan, memang nanti Mendagri mengusulkan SK. Dan memang SK itu SK presiden, sama juga SK Sekda, tapi itu di usulkan oleh Mendagri,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Sabtu (25/9/2021) melaui via telepon.
Ia menjelaskan, Itu merupakan prosedur-prosedur yang resmi. “Artinya ASN itu memang iya harus Eselon I untuk menjadi Pj. Gubernur, itu normatif saja. Persoalannya disini kemudian, apakah semua ASN itu cukup mengganti ke-24 Pj Gubernur si-Indonesia?, ada tidak orangnya itu di Dirjen, Eselon I?,” ujarnya.
Kemudian, Dirinya juga mengatakan, dalam hal ini juga, apakah ada yang punya kapasitas untuk menjadi Pj. Gubernur?
“Itu yang menjadi persoalannya sebenarnya, jika dikatakan ini bisa menjadi polemik, ini enggak juga. Kita punya Eselon I itu ratusan lebih dijajaran Kementerian, dan Eselon I di kepolisian dan tentara yang sebenarnya bisa mengisi itu semua, Cuma sangat dibutuhkan seleksi yang sangat ketat,” tambahnya.
Nasrul mengatakan, baiknya, Mendagri melakukan seleksi yang ketat, sehingga yang diajukan itu bukan malah merusak rencana-rencana daerah.
“Tapi malah orang-orang yang dapat membangun daerah ke arah yang lebih baik lagi,” tukasnya.
Nasrul menyampaikan, ada plus minusnya Pj itu mengisi jabatan Gubernur Khususnya di Aceh. Plusnya, karena dia tidak tergantung pada kekuatan-kekuatan Politik lokal. Maka, dia (Pj.) akan sangat bebas untuk misalkan memilih orang-orang baik di SKPA, karena tidak ada politik balas budi.
“Sehingga dia dapat dengan mudah mengatur jajaran pemerintah dan membangun Aceh ke arah yang lebih baik,” ungkapnya.
Sedangkan, Minusnya, kata Nasrul, kalau dia (Pj.) terlalu membawa suara nasional juga akan menghambat pola komunikasi dan koordinasi antara Aceh dan Jakarta (Pusat).
“Terutama kitakan lagi merevisi UU pemerintahan Aceh,” pungkasnya. [ftr]