APBA 2022, Alfian Sebut Pemerintah Aceh Harus Prioritaskan Kebutuhan Masyarakat
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Raqan APBA 2022 yang telah disepakati sebesar Rp 16,1 Trilliun termasuk cepat dan tepa waktu. Namun, banyak hal yang harus diperhatikan dalam APBA 2022 ini agar tak terjadi hal-hal seperti tahun-tahun sebelumnya.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, banyak point penting yang harus diperhatikan. “Yang pertama kalau saya lihat taun 2022 ini tahun dimana posisi Gubernur Aceh akan selesai masa kepengurusannya itu tepatnya di bulan 7 atau bulan Juli. Sinyal itu juga dipahami sekali dari sisi kebijakan anggaran oleh DPRA,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Kamis (9/12/2021).
Dirinya mengatakan, kita melihat bahwa proses tender ini akan dipercepat. “Proses tender akan dipercepat, karena ini agak politis dan juga atas satu Sisi dengan tata kelola pemerintahan di hari ini tidak ada benteng ‘dalam pencegahan tindak pidana korupsi’, jadi, masa semester pertama ini adalah masa mencari uang atau mencari untung secara ekonomi, baik itu Birokrasi maupun di Eksekutif dan Legislatif,” sebutnya.
Kemdian Ia mengatakan, walaupun proses pengesahan anggaran termasuk tepat waktu. Akan tetapi kalau kita lihat di proses pengesahan anggaran tahun 2021 pengalaman kemarin itu juga terjadi pengesahan kan tanggal tanggal 31 November juga.
“Akan tetapi proses percepatan pengesahan anggaran tepat waktu ini tidak menjamin proses realisasi sesuai dengan yang diharapkan. Karena proses eksekusi anggaran ini, Jangan dilihat bahwa ini sudah ketuk palu, sudah ada proses pengesahan, dan begitu selesai ini akan ada proses selanjutnya,” sebutnya.
“Akan tetapi dengan pengalaman yang sudah ada, proses tarik menarik ataupun saling sandera antara eksekutif dan legislatif dalam kebijakan anggaran ini juga sering terjadi,” tambahnya.
Selanjutnya Ia mengatakan,
Nah, kita harap di Tahun 2022 ini tidak terjadi lagi. Karena ini kan kebijakan-kebijakan yang tidak populer ataupun praktek-praktek yang tidak baik, yang seharusnya itu segera ditinggalkan.
“Selanjutnya adalah Pertama, pemerintah Aceh itu juga perlu menetapkan semacam kalender terhadap proses pelaksanaan pembangunan. Artinya gini pakai paket yang sudah di tenda ini tahun berapa bulan berapa hari selesai?
Kedua, kalau misalnya proses respirasi di level SKPA lamban, sanksi yang harus dilakukan secara administrasi oleh Gubernur ini apa? Saya rasa ini perlu, istilah ada Reward dan Punishment yang harus diberikan.
Selanjutnya, Alfian mengatakan, proses perencanaan, pertanyaan kita lagi, karena di tahun pengalaman tahun 2020/2021 ada paket yang di kerjakan itu tidak ada perencanaan.
“Pertanyaan kita sekarang apakah anggaran yang sudah dialokasikan masing-masing kebijakan terhadap pembangunan Aceh di Tahun 2022 sudah ada perencanaan atau belum? kita sendiri meyakini ini belum ada. Kalau misalnya proses tender dilaksanakan, misalnya ya di bulan Mei selesai semua misalnya, bagaimana proses perencanaannya? dan sebenarnya itu juga salah satu faktor yang paling memperlambat proses eksekusi anggaran selama ini,” sebutnya.
Alfian menjelaskan, Tahun 2021 kita melihat ada kesan memang dipaksakan, satu sisi terjadi penyerapan anggaran untuk mengejar penyerapan anggaran, dan satu sisi bahwa pakai paket ini memang sudah diketahui oleh publik, kalau memang itu ditunda itu akan menjadi kecaman.
“Walaupun kita tahu bahwa di 2021 ada beberapa paket yang itu memang dibatalkan secara resmi dengan alasan Tidak cukup waktu, jadi kalau misalnya Tidak ada proses secara teknis ya tidak ada semacam kalender proses eksekusi anggaran, mulai dari proses tender, pelaksanaan melalui proses pelaksanaan, proses penyelesaian pembangunan, Tahap terakhir misalnya, proses evaluasi yang lebih mudah kita bilang, ketika ini ada yang terlambat konsekuensinya apa? Secara tata kelola ini tidak dilakukan,” jelasnya.
SiLPA Rp 0,-
Alfian mengatakan, jika ingin SiLPA Rp 0,- perlu ada ketegasan dan target yang harus diselesaikan.
“Saya pikir itu salah satu hal yang perlu dilakukan, tapi kalau misalnya pola eksekusi anggaran Sama persis dengan pola yang pernah terjadi tahun 2021, Berarti posisi SiLPA itu akan lebih tinggi lagi, karena kalau misalnya mencoba-coba untuk target kayak terjadi di tahun 2021, misalnya paket progres pekerjaan tidak selesai 100 %, tapi uangnya sudah cair 100 %, ini sangat berbahaya, dan potensi korupsinya sangat tinggi,” sebutnya.
Untuk kali sangat sulit, Karena kata Alfian, karena posisi eksekutif ini sangat terbatas cara mendapat proses pengawalan di dari legislatif, karena legislatif juga disibukkan dengan anggaran pokirnya. “Kalau kita lihat problem ini cepat selesai kemarin, ini karena pokir DPRA sudah selesai, tapi ini potensi-potensi akan terjadinya penyanderaan dan ini juga tidak akan ada jaminan,” sebutnya.
Alfian mengatakan, saya pikir problem ini harus diselesaikan, karena dinamika ini juga sudah bisa terbaca semua oleh publik dan dinamika ini tidak populer tidak sama sekali diinginkan oleh publik.
“Karena masyarakat hari ini butuh secara kongkritnya adalah kalau misalnya pembangunan jalan kapan mau dibangun, Kapan selesai, dengan kualitas yang baik, begitu juga kalau buuth gedung, butuh fasilitas layanan publik, harus segera direalisasi, publik tidak mau adanya perdebatan ataupun saling sandera terhadap kebijakan anggaran, seperti apa yang terjadi misalnya di tahun 2021,” jelasnya.
Reward dan Punisment terhadap SKPA
Alfian mengatakan, evaluasi itu memang selalu ada dilakukan, namun tidak ada semacam warning ataupun teguran keras terhadap SKPA yang lamban kerjanya.
Oleh karena itu, harus adanya sebuah teguran atau warning atau Punisment terhadap SKPA yang lamban atau melanggar suatu ketetapan, atau pertanggung jawaban.
Sedangkan Reward itu, kata Alfian, terhadap SKPA yang kerjanya bagus mungkin bisa diberikan anggaran yang lebih besar atau sebuah penghargaan kepada mereka (SKPA) dan bisa macam lainnya.
“Dan saya pikir ini penting sekali, karena ini bisa jadi motivasi terhadap SKPA yang memiliki kinerja yang baik, dan ini juga akan meningkatkan lagi Trust di publik terhadap pemerintah Aceh saat ini,” sebutnya.
“Namun bagi SKPA yang lamban kerjanya mungkin, bisa diberikan teguran keras, sampai dicopot dari jabatannya, karena ini kerugiannya bukan hanya di pemerintah Aceh saja, tapi yang paling terkena dari kerugian ini adalah masyarakat, dan ini harus kongkrit jika ingin serius,” tukasnya.
Trust Dari Masyarakat
Alfian mengatakan, terhadap Trust ini lebih kepada Eksekutif, harus ada transparansi. “Ini persoalan akuntabilitas, tata kelola, dan memaksimalkan layanan publik,” ujarnya.
Karena kata Alfian, selama ini lebih terlihat kepada soal pencitraan saja. “Dan legislatif disini harus bisa memastikan terhadap fungsi mereka dan tupoksi mereka di DPRA, Pengawasan, penganggaran, dan lainnya,” ujarnya.
Dengan begitu adanya transparansi dan bukti nyata, masyarakat sendiri bisa meningkat trustnya kepada pemerintah Aceh, Sebut Alfian.
Tahun 2022 harus ada target yang menjadi prioritas masyarakat
Alfian mengatakan, sebenarnya pemerintah Aceh sudah punya dokumen yaitu RPJM. “Seharusnya pemerintah harus kembali kesana apakah APBA 2022 ini sudah sesuai dengan RPJM atau tidak,” tukasnya.
Kemudian, dirinya mengatakan, tahun 2021 itu banyak yang tidak sesuai dengan RPJMA. Salah satunya sektor rumah dhuafa, yang seharusnya kalau kita hitung selama Irwandi-Nova yang harusnya pertahun 5000 harus teraslisasi, namun ini tidak terealisasi, mengapa karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan itu tidak sesuai dengan kebutuhan
“Tapi lebih tepatnya keinginan, maksudnya kalau memang ada fasilitas yang dibuat sesuai kebutuhan itu pasti akan digunakan, tapi ini banyak sekali yang dibuat tapi tidak digunakan dan malah terbengkalai, dan tidak berfungsi,” tambahnya.
Alfian mengatakan, dan inilah yang menjadi problem. “Seharusnya pemerintah Aceh harus memprioritaskan kebutuhan (Masyarakat), dengan begitu apa yang dibangun oleh pemerintah akan lebih bermanfaat dan tidak terbengkalai,” pungkasnya. [ftr]