Aktivis HAM Aceh Sebut Jokowi Tak Perlu Bikin Tim PPHAM, Nilai Ada Keganjilan Dibalik Pembentukan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Aktivis HAM Aceh, Hendra Saputra. [Foto: ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis HAM, Hendra Saputra mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya tak perlu membentuk tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM (PPHAM) berat di masa lalu.
Menurut Hendra, Indonesia dalam hal penanganan kasus HAM berat punya mekanisme hukum, baik untuk kasus pelanggaran HAM di masa lalu atau kasus yang terjadi sekarang. Mekanisme hukum yang dimaksud adalah Undang-undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
“Di aturan aturan ini, disebutkan bahwa jika kasus pelanggaran HAM terjadi sebelum tahun 2000 maka diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM Ad Hoc, sedangkan untuk kasus yang terjadi setelah tahun 2000 diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM,” ujar Hendra Saputra kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Kamis (22/9/2022).
Seharusnya, lanjut dia, Presiden Jokowi baiknya berpatokan saja pada hukum yang sudah berlaku di Indonesia mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Jika pun Jokowi ingin menyelesaikan dengan mekanisme non-yudisial, kata dia, Jokowi mestinya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bukan membentuk tim PPHAM.
Adapun yang menjadi pertimbangan Presiden Jokowi membentuk tim PPHAM berat ini ialah karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih belum terselesaikan sepenuhnya. Oleh karenanya Jokowi membentuk tim PPHAM.
Tetapi, menurut Aktivis HAM tadi, Jokowi membentuk tim PPHAM ini bukan karena kasus pelanggaran HAM belum terselesaikan, tapi memang tidak mau diselesaikan dari dulu-dulu.
Bila merujuk pada UU Pengadilan HAM, Hendra menilai Jokowi membentuk tim non-yudisial PPHAM berat ini semata-mata hanya karena pertimbangan politik, bukan perimbangan hukum.
“Kalau pertimbangan hukum, ya, semestinya sudah selesai. Kita ini punya tatanan hukum, tapi kenapa tak diselesaikan melalui mekanisme pengadilan,” tutur Hendra.
Di samping itu, ujar Hendra, hal yang membingunkan adalah tim PPHAM berat ini bekerja sesuai dengan rujukan dan rekomendasi yang ditetapkan oleh Komnas HAM. Padahal, lanjut dia, Komnas HAM adalah lembaga yang bertugas menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara pro-yudisial, bukan non-yudisial.
“Makanya jadi aneh, kok kasus-kasus yang dilakukan penyelidikan seharusnya diselesaikan secara yudisial, kok diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial,” ungkapnya.
Hendra juga menyoroti soal kerja-kerja yang akan dilakukan tim PPHAM berat ini ke depan. Hendra menilai kerja-kerja pemulihan korban lebih kepada kerja memenuhi hak warga negara, tidak bekerja untuk memenuhi hak korban.
Hendra menegaskan, pemenuhan hak korban dan pemenuhan hak warga negara merupakan dua hal yang berbeda.
Di antara pemenuhan hak korban, jelas Hendra, adalah pengakuan negara terhadap korban. Mekanisme pengakuan itu ada dua, yakni melalui pengadilan dan melalui Komisi Kebenaran. Akan tetapi, lanjut Hendra, kedua mekanisme pengakuan ini tidak dilakukan pemerintah.
Aktivis HAM Hendra Saputra menduga ada agenda terselubung dibalik pembentukan tim PPHAM berat ini oleh Jokowi.
“Jokowi nggak perlu membentuk tim ini, Jokowi selesaikanlah kasus ini melalui mekanisme pengdilan HAM. Kita curiga ada agenda terselubung di pembentukan tim PPHAM ini,” pungkasnya.(Akh)
- Jokowi Bentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Ini Tugasnya
- Komnas HAM Mulai Bergerak, Tetapkan Kasus Munir Pelanggaran HAM Berat
- Meski Advokasi KontraS Aceh Terkesan Maskulin, Azharul Husna Tak Kendur Semangat Kawal Pemenuhan Hak Korban
- Pemerintah Diminta Segera Bentuk Tim Untuk Dalami Kasus Pelanggaran HAM oleh ExxonMobil