AI Gelar Diskusi Terkait JKA, Muazzinah: JKA Amanat UUPA
Font: Ukuran: - +
The Aceh Institute menggelar diskusi publik bertema “Polemik JKA, Dihentikan atau Lanjutkan?”, Kamis (24/03/2022) melalui aplikasi zoom. [Foto: dok. AI]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Adanya kebijakan dari Pemerintah Aceh untuk pemberhentian program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) menjadi polemik bagi seluruh masyarakat Aceh.
Isu yang sedang hangat ini membuat sebagain besar publik merasa kecewa dan marah kepada pemangku kebijakan di Aceh. Pasalnya publik merasa bahwa dari sisi anggaran, Aceh dianggap mampu dalam memenuhi kebutuhan layanan kesehatan bagi masyarakat.
Namun ada yang merasa juga bahwa selama ini program JKA telah menyebabkan pemborosan anggaran. Hal tersebut disebabkan bahwa ada penerima manfaat program dari kalangan dengan kondisi ekonomi kaya, sehingga dianggap tidak tepat sasaran.
Melihat polemik yang berkembang, The Aceh Institute (AI) mengadakan diskusi publik dengan tema “Polemik JKA, Dihentikan atau Lanjutkan?”, Kamis (24/03/2022) melalui aplikasi zoom.
Adapun tujuan digagasnya diskusi publik ini oleh Aceh Institute adalah untuk mendapatkan berbagai masukan dari berbagai pihak tentang polemik diberhentikan atau dilanjutkannya JKA. Selain itu diskui ini juga bertujuan untuk mendapatkan titik terang terkait isu JKA yang dianggap datanya juga ada pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Diskusi ini diisi oleh Dr. Hafas Furqani dari akademisi, Teungku Jamaica selaku pengamat JKA, M. Rizal Falevi Kirani dari DPRA dan Muazzinah selaku Direktur Aceh Institute.
Direktur Aceh lnstitute Muazzinah, mengatakan bahwa program JKA memang sudah sepatutnya untuk dievaluasi namun tidak boleh dihentikan khususnya bagi masyarakat yang tidak mampu.
"Jika dievaluasi, tidak hanya hal anggarannya saja tapi lebih komprehensif tentang juknis. Mengingat bahwa program JKA merupakan amanat UUPA No.11/2006, bahwa setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan," ucap Muazzinah.
Ia juga menyampaikan, hal yang sama juga terdapat dalam Qanun Aceh nomor 4 tahun 2010 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap penduduk Aceh berhak atas pelayanan dan jaminan kesehatan.
Sementara itu pengamat JKA, Teungku Jamaica mengatakan perlu exit strategy dalam proses aktifitas jaminan kesehatan bagi masyarakat Aceh mengingat tidak selamanya Pemerintah Aceh mendapatkan sumber daya dari dana Otsus.
Adapun Dr. Hafas Furqani yang memaparkan dari aspek anggaran dan kemaslahatan, menjelaskan bahwa Aceh bisa mengusulkan untuk mengelola sendiri program JKA melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau bekerja sama dengan pihak swasta.
Kemudian dari perwakilan legislatif, M. Rizal Falevi Kirani menjelaskan bahwa program JKA selama ini berjalan dengan berbagai problematikanya, diantaranya seperti terdapat data yang double, penduduk Aceh yang sudah dicover oleh JKA dan JKN, sehingga menyebabkan pemborosan dari sisi anggaran.
"Karena itu, data yang solid dan lengkap diperlukan guna pembenahan program JKA ke arah yang lebih baik lagi," tutur Rizal. [*]