kip lhok
Beranda / Opini / Politik Belah Bambu di Dinas Pendidikan Aceh

Politik Belah Bambu di Dinas Pendidikan Aceh

Minggu, 11 Desember 2022 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Muhammad Khaidir, SH., Direkktur pusat analisis kajian dan Advokasi (Pakar) Aceh. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Opini - Harfiahnya dasar pemahaman politik belah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Cara prakteknya membelahnya satu diangkat ke atas lebih tinggi, yang satunya lagi diinjak menekan ke bawah. 

Strategi politik belah bambu digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk meraih kepentingan menempatkan target seseorang di posisi kekuasaan ataupun jabatan tertentu, sedangkan saingannya yang menduduki kekuasaan atau jabatan diinjak kebawah untuk dijatuhkan. Metodenya beragam, seperti menafikan kerja nyata melayani kebutuhan publik, membuat manuver demo, membuat setting issu negatif tidak sesuai fakta dan data, dll.

Politik belah bambu ini digunakan orang-orang zhalim, iri, dengki terhadap keberadaan seseorang di kekuasaan dan jabatan di pemerintahan maupun praktek kehidupan bermasyarakat dengan beragam pola dan metodenya menggunakan cara belah bambu tersebut.

Dikaitkan dengan kasus nyata di Dinas Pendidikan Aceh, marak sekali demo dan pemberitaan yang diarahkan baik secara kelembagaan dan personal kepala dinasnya. Anehnya mereka bergerak menjatuhkan tidak objektif menilai capaian dan keberhasilan yang sudah dilakukan seluruh pranata kelembagaan Dinas Pendidikan Aceh. 

Kerja keras guru, tenaga kontrak, murid, dan kepala sekolah, hingga kepala dinasnya tidak diapresiasi atas tindakan nyata memperbaiki mutu dan pelayanan Pendidikan di Aceh, mulai dari membuka kelas jauh, tingkat kelulusan siswa di perguruan tinggi meningkat, keterlibatan multi pihak seperti KPK, LSM, dll. Bahkan khusus SMK sudah mulai banyak kerjasama berorientasi lapangan kerja.

Capian itu semua tak bernilai dimata mereka yang berambisi ingin menguasai Dinas Pendidikan Aceh, karena sumber dana besar dalam pengelolaan Pendidikan Aceh. Nyatanya alokasi besar dari anggaran pendidikan harus berbagi ke Dinas Pendidikan Dayah, Majelis Pendidikan Aceh, dan BPSDM Aceh. Bukan murni semua dikelola Dinas Pendidikan Aceh disinilah banyak salah memahami tatakelola anggaran pendidikan. 

Semakin tidak logis ketika banyak pihak mengapresiasi kemajuan dunia Pendidikan di Aceh, mulai anggota dewan, pengamat Pendidikan, organisasi, lembaga advokasi, serta lembaga riset malah sebaliknya bagi mereka iri, dengki, menggunakan cara politik belah bambu jelas itu tidak ada bernilai. Apalagi mereka yang ingin menjatuhkan dan menguasai Dinas Pendidikan Aceh tidak akan mengapresiasi atas upaya tergabung di ekosistem Pendidikan Aceh dalam memajukan pelayanan publik di sektor Pendidikan Aceh. Pertanyaan sederhananya apakah selalu mengganti kepala Dinas Pendidikan Aceh dipastikan akan lebih baik, bahkan capaian sudah diraih tidak menutup kemungkinan mengalami kemunduran. 

Ketika ingin menjatuhkan dan menggantikan Alhudri lakukan dengan cara elegan dan tunjukan data dan fakta atas buruknya kinerja selama kepemimpinan dirinya. Menjatuhkan dan menggantikan dirinya, harus didasarkan penilaian objektif bukan subjektif karena kebencian atau like end dislike, apalagi mengaitkan karena kesukuan. 

Belajarlah menghargai jerih payah semua orang yang peduli memajukan pendidikan Aceh, bukan sebaliknya kelakuan politik belah bambu dijadikan budaya meraih kepentingan kelompok agar tercapain keinginan yang berdampak kepada mutu dan pelayanan Pendidikan di Aceh. 

Jika ingin selalu dilakukan sesama kita, maka bisa dipastikan dunia Pendidikan Aceh tidak akan semakin berkembang, karena sibuk untuk saling menjatuhkan dan menggantikan orang. Dan lupa esensi menciptakan sumber daya manusia masyarakat Aceh menjadi lebih baik ke depannya.

Semua yang kita dengar adalah opini, bukan fakta. Semua yang kita lihat adalah presfektif, bukan kebenaran. Justru alhudri saat ini mati-matian berjuang memperbaiki tata kekola manajeman dan kinerja yang lemah, akses pendidikan yang tidak merata, juga sistem regulasi dan birokrasi yang belum good governance

Sikap optimisme sangat dibutuhkan untuk sebuah perbaikan. Semua orang harus ikut andil mulai dari pemerintah, masyarakat guru dan juga pihak swasta agar kualitas pendidikan di dorong ke arah yang lebih baik lagi. Sebab, Pendidikan di Aceh sedang fokus memproyeksikan masa depan pendidikan, dengan memberikan akses pendidikan yang berkualitas, sembari mengejar negara lain yang sudah 128 tahun di depan kita, mengevaluasi kembali sistem pendidikan kita.  

Dunia terus bergerak, berinovasi, pekerjaan-pekerjaan baru bermunculan, tantangan- tantangan zaman juga semakin kompleks. Kita dituntut harus terus adaptif dengan keadaan dan solutif dengan perubahan. Bukan malah kita menyebarkan kebencian, memprovokasi dan menyudutkan orang menuduh tanpa bukti.

[Penulis: Muhammad Khaidir, SH., Direkktur pusat analisis kajian dan Advokasi (Pakar) Aceh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda