Beranda / Opini / Mahasiswa: Aktor Intermediary Ditengah Pandemi

Mahasiswa: Aktor Intermediary Ditengah Pandemi

Kamis, 10 September 2020 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Farnanda, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM


Kalau saja ada sebuah gerakan yang mampu mendorong masyarakat untuk patuh terhadap aturan kesehatan, penyebaran Covid 19 di Aceh bisa saja teratasi. Kalau saja ada sebuah gerakan yang mampu menekan pemerintah untuk menghasilkan kebijakan mitigasi yang agresif, penanganan Covid 19 di Aceh bisa saja tetap terkendali.

Melalui pendekatan gerakan sosial (social movement), tulisan ini mendiskusikan bagaimana aktor intermediary dapat berperan sebagai jembatan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam upaya menekan penyebaran Covid-19 di Aceh. Tulisan ini menempatkan mahasiswa atau gerakan anak muda lain sebagai aktor intermediary. Mengapa mahasiswa ? Pertama, dalam perjalanan sejarah gerakan sosial di Indonesia, gerakan mahasiswa mampu merubah dan memperbaiki sistem yang tengah krisis (reformasi ‘98). Kedua, karena tradisi intelektualitas (baca, diskusi, aksi) sebagai siklus wajib yang menjadi budaya aktivisme. Tradisi ini menempatkan masyarakat sebagai tujuan atau orientasi yang paling rasional. Untuk itu karena kapasitasnya, mahasiswa dinilai mampu menjadi aktor intermediary yang mengisi kekosongan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat.

Kabar duka atas gugurnya seorang dokter karena Covid-19 memberi sinyal bahwa Aceh tengah dalam kondisi krisis Covid-19. Angka pasien positif Covid di Aceh naik signifikan hanya dalam beberapa bulan saja. Kondisi ini berbeda ketika fase awal penyebaran virus Corona di Aceh pada Maret lalu yang relatif terkendali. Bersanding dengan kebijakan nasional, lonjakan angka positif Covid-19 di Aceh terjadi pada fase Adaptasi Kebiasaan Baru. Produk pusat ini juga ikut diterapkan, sekaligus sebagai jalan mitigasi penyebaran virus Corona di Aceh. Adaptasi Kebiasaan Baru mewajibkan setiap kegiatan sehari-hari dilakukan dengan memenuhi protokol kesehatan. Pakai masker, rajin cuci tangan, dan jaga jarak adalah sebuah keharusan. Namun, imbauan pemerintah untuk patuhi aturan kesehatan dinilai hanya memenuhi jargon formalitas saja. Pesan bahwa protokol kesehatan dapat mengurangi eksposur resiko penularan tidak tersampaikan. Sehingga, yang perlu digaris bawahi adalah kasus Covid-19 di Aceh meningkat karena tedapat mitigasi yang tidak berjalan.

Agar tepat sasaran, adaptasi kebiasaan baru perlu dijalankan dengan sinergi, dari hulu ke hilir. Tidak ada artinya pemangku kepentingan mengeluarkan kebijakan yang paling sempurna sekalipun, bila respon masyarakat tidak cukup baik. Masyarakat perlu didorong untuk menjawab pesan pemerintah agar disiplin terhadap aturan kesehatan. Maka pemerintah membutuhkan satu support system yang mampu membawa pesan kebijakan ke level grassroots. Disinilah peran mahasiswa sebagai aktor intermediary harus hadir mengisi kekosongan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat.

Peran mahasiswa dalam gerakan sosial bukanlah barang baru. Sudah banyak gerakan sosial yang mampu menekan pemangku kepentingan agar mengubah atau merespon sebuah isu publik. Misal saja, yang terbaru aksi gerakan mahasiswa pada September 2019 dan aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta. Dua aksi gersos ini mengadvokasi hal sama terkait isu UU Omnibus Law dan Pengesahan RUU PKS. Mahasiswa dalam diskursus sebagai subjek politik dinilai mampu menjadi penghubung atas jurang pemisah antara pemerintah dengan masyarakat. Konsep gerakan sosial sendiri tidak melulu hanya bergerak menyoalkan isu politik saja. Dalam perkembangannya, terdapat pergeseran cara pandang dari gerakan sosial klasik (Why Men Rebel, Ted Gurr: 1970) ke gerakan sosial kontemporer atau baru (Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, Tarrow: 2001). Gerakan sosial baru ini merupakan pintu masuk untuk memperjuangkan isu yang lebih makro dan luas. Sehingga gerakan sosial dapat dilakukan oleh warga negara bila terdapat sebuah persoalan yang telah menjadi isu publik dan dilakukan untuk kepentingan kolektif (Tarrow, 2001).

Mahasiswa sebagai aktor intermediary harus menjadi agen gerakan sosial. Perannya sangat dibutuhkan untuk mendorong masyarakat Aceh agar patuh terhadap aturan kesehatan. Perlu diakui, meminta masyarakat dalam skala besar dan secara serentak untuk mengubah satu perilaku dengan perilaku baru yang berbeda, bahkan kadang bertentangan dengan kebiasaan adalah pekerjaan yang sangat sulit. Maka mobilitas mahasiswa yang tersebar dalam lapisan masyarakat Aceh harus dimanfaatkan pemerintah untuk setidaknya mengabarkan pentingnya mematuhi isu kesehatan ini. Terlebih, kebebasan informasi yang bablas berkonsekuensi pada carut-marutnya kepercayaan publik menyikapi pandemi ini. Sehingga pada ektrimnya masyarakat terpengaruh dan terfragmentasi pada jurang post-truth. Kegelisahan ini menjadi nyata. Arus informasi yang beragam mengenai Covid-19 akhirnya bermuara pada tindakan masyarakat yang sepele menyikapi pandemi. Banyak lapisan masyarakat yang tidak peduli terhadap kaidah kesehatan. Tidak perlu ada adaptasi kebiasaan baru di Aceh, karena sebagian masyarakat Aceh merasa sudah cukup baik-baik saja dengan kebiasaan lama. Karena bagi kelompok masyarakat bergenre seperti ini, Covid-19 adalah sebuah kebohongan yang sedang dipertontonkan Bill Gates kepada dunia.

Keadaan seperti ini mengantarkan keberadaan mahasiswa sebagai hero. Mahasiswa diharapkan mampu menengahi persoalan yang berakar dari beragam pemahaman dan sudut pandang. Untuk itu, orientasi intelektualitas mahasiswa sangat dipertaruhkan menghadapi arus informasi yang semakin masif dan nano-nano. Mahasiswa memiliki nalar berfikir yang tidat terpengaruh emosi. Mahasiswa memiliki nalar berfikir bahwa fakta objektif adalah sumber rujukan pembentuk opini. Sehingga, melakukan kampanye untuk menggunakan masker dan mematuhi kaidah kesehatan adalah cara mahasiswa berpihak pada kemanusiaan. Gerakan sosial memberi kemewahan terhadap berbagai cara penyampain tuntutan atau kampanye. Air campaign atau kampanye melalui media sosial adalah keniscayaan untuk dilakukan pada masa pandemi saat ini. Kampanye melalui media sosial terbukti efektif dilakukan. Contoh keberhasilannya terpotret pada kasus isu rasis kematian George Floyd beberapa bulan silam. Bagaimana sebuah gerakan sosial mampu mengakumulasi massa seluruh dunia untuk berempati pada isu rasis ini. Maka pada akhirnya mahasiswa akan hadir diantara perpecahan pemahaman ini dan menempatkan mahasiswa sebagai jalan menghadapi krisis kemanusiaan.

Berperan sebagai aktor intermediary, juga memposisikan mahasiswa untuk menekan pemerintah agar merumuskan kebijakan yang sesuai dengan konteks. Dalam hal ini yang perlu ditinjau adalah kapasitas Provinsi Aceh dalam penanganan covid 19 secara medis. Data yang terbitkan oleh CSIS pada 1 April 2020 menunjukkan tingkat kesiapsiagaan seluruh provinsi Indonesia berdasarkan skenario jika jumlah ODP dan PDP beralih menjadi pasien positif Covid 19. Hasilnya, Aceh dengan 8 provinsi lain masuk kedalam kategori kuadran IV sebagai daerah dengan kondisi yaang cukup ideal. Perhitungan kondisi ideal berdasarkan pendekatan beberapa sektor. Pertama, perhitungan skenario rasio pasien potensial positif dari OPD dan PDP lebih kecil dari pada rasio jumlah Rumah Sakit Rujukan. Perhitungan kedua, Aceh termasuk kategori daerah dengan perkiraan total alokasi anggaran diatas rata-rata dari provinsi lainnya, yaitu 28,5 M.

Sementara itu berdasarkan Matriks Keadaan Ekonomi dan Kesehatan yang dirilis pada dashbord CSIS tanggal 5 September 2020, posisi Aceh berada dalam kategori kuadran ke II. Kuadran ini menempatkan keadaan kesehatan Aceh menurun, sekaligus yang paling rendah dari provinsi lainnya. Indeks intensitas Covid 19 di Aceh berada diangka -3,50. Indeks intensitas dihasilkan berdasarkan perhitungan dari 3 sub-komponen indeks: indeks kematian, indeks pertumbuhan, dan indeks kasus aktif.

Dari temuan kesiapsiagaan Aceh terhadap covid 19 diatas, yang perlu digaris bawahi adalah catatan positif intensitas Covid 19 di Aceh saat ini sudah berubah kearah sebaliknya. Mahasiswa perlu menekan pemerintah agar menjamin pertukaran informasi berbasis data yang baik terkait penanganan Covid 19 antar Rumah Sakit di Aceh. Pemerintah perlu menaruh fokus lebih kepada tenaga medis. Melakukan pelacakan aktif secara masif, membuat regulasi yang terkait segala tindakan medis di RS yang berpihak kepada tenaga medis, hingga memberikan insentif yang telah menjadi hak medis. Tanpa adanya pelacakan rutin terhadap pasien positif, tindakan pencegahan seperti pengecekan kesehatan rutin di ruang-ruang publik, tenaga medis hanya menjadi objek terakhir dari pasien Covid 19.

Pada akhrinya mengisi kekosongan interaksi antara pemerintah dan masyarakat akan mengembalikan orientasi keberpihakan mahasiswa pada kemanusiaan. Gerakan mahasiswa tidak lagi berperan sekedar menjatuhkan rezim atau mengubah sistem. Namun lebih jauh dan strategis, bagaimana gerakan mahasiswa sebagai aktor intermediary mampu mengisi reformasi sosial dalam rangka menjaga akal sehat akan kesadaran untuk tidak menghilangkan nyawa.

(Farnanda, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bupati bireuen
Komentar Anda