Beranda / Opini / Aceh Kini, Sesuai Ekspektasi Wali?

Aceh Kini, Sesuai Ekspektasi Wali?

Selasa, 11 Agustus 2020 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi 


"Geutanyoe bangsa Aceh, beu ta thei droë dan beu ta tusoë droë, bek sampoë jeuet ke bangsa lamiet njang di jajah dan di boeh atô lé bangsa laén". Teungku Hasan Tiro.

Kalimat itu terkandung makna keteguhan dalam berprinsip yang ditunjukan oleh seorang anak bangsa Aceh. Perjalanan panjang hidupnya dengan segala kecemerlangan sejak di bangku sekolah hingga merantau ke Yogyakarta guna meneruskan pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII). Hasan Tiro muda yang terkenal dengan prinsipnya yang kuat adalah seorang republiken sejati kala itu, hingga ia meneruskan pendidikan ke Amerika Serikat setelah mendapatkan beasiswa Colombo Plan yang membawanya pada keterbukaan melihat Aceh sebagai sebuah bangsa berdaulat.

Transformasi pemikiran Wali Hasan Tira tak serta merta terjadi, semua yang dilakukan memiliki dasar argumentasi yang jelas hingga pada titik mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimon pedalaman Kabupaten Pidie. Sejak saat itu, gerakan perlawanan lahir di Aceh. Memang bukan yang pertama, semoga saja menjadi yang terakhir. Hasan Tiro menghabiskan sebagian besar umurnya untuk memperjuangkan Aceh Merdeka. 

Sejak deklarasi itu, Hasan Tiro menjadi orang yang paling diburu oleh serdadu Indonesia. Hal itu juga yang menghantarkannya ke beberapa negara Eropa untuk mencari suaka. Dari pengasingan, Hasan Tiro dikontruksi menjadi simbol perjuangan Aceh dalam melawan pemerintah. Dalam propaganda GAM, Hasan Tiro disebut sebagai Wali Nanggroe. Ketika Aceh damai, Wali Nanggroe menjadi bahagian pemerintahan, diluar kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dan, Jadilah Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe pertama. Tidak ada di provinsi lain.

Kini, setelah kepulangannya pada Illahi, perjuangan Aceh seperti tak terkendali. Pasalnya semua orang bergerak sendiri-sendiri, pun yang berada di dalam perjuangan bersama Wali Hasan tempo dulu. Jika kita refleksikan kembali perjuangan yang di lakukan di bawah komando Wali Hasan, maka semuanya bergerak secara terstruktur dan terkendali. Tetapi kini, semuanya serba sendiri-sendiri seperti tak ada koordinator. 

Ada apa dengan perjuangan kini?

Jika kita melihat dari realitas yang terjadi, ada beberapa aspek yang memang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya pada aspek kebijakan yang terkesan adalah kebijakan yang bersifat pragmatis tanpa memikirkan efek yang di timbulkan dalam jangka panjang. Kontestasi dan persaingan politik di Aceh selalu saja terbentuk dalam dua kubu besar, yang jika salah satunya berkuasa, maka dipihak lain akan berusaha menggagalkan sebisanya tanpa etika.

Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?” Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebijakan.

Banyak orang berpendidikan, pada kenyataannya, tidak layak dalam membuat keputusan praktis dalam kehidupan mereka dan mereka tidak terasa lebih baik secara moral dalam menjalani kehidupan. Mereka memiliki pengetahuan, tetapi kurang kebijaksanaan. Melalui filsafat moral, orang diharapkan akan senantiasa cinta dan mengejar kebijaksanaan dalam hal moral.

Al-Ghazali adalah tokoh dunia filsafat. Apabila kita bisa memahami posisinya dan mengetahui siapa dan bagaimana latar belakangnya, maka pastinya akan ada kontroversi dalam pemikirannya. Sebagian orang boleh berbeda pandangan tentang siapa Al Ghazali, apakah beliau seorang filosof ataukah seorang sufi? Untuk mengetahui lebih jelasnya tentunya harus di ketahui lebih dalam tentang mereka, Kalau kita mulai mengkaji Al Ghazali lewat pintu gerbang karyanya “Tahafut al-Falasifah”, maka kita akan berkesimpulan bahwa Al Ghazali adalah seorang filosof, bukanlah seorang sufi. Tapi kalau kita masuk kepemikiran Al Ghazali lewat pintu gerbang “Ihya Ulum al-Din” maka kita akan berkesimpulan bahwa Al Ghazali adalah seorang sufi, bukanlah seorang filsuf. 

Penjabaran ini sebagai analogi bahwa ketika kita melihat Wali Hasan dengan karya "Demokrasi Untuk Indonesia" maka kita akan mengganggapnya sebagai seorang Republiken Indonesia sejati. Tetapi ketika kita melihat Wali Hasan dengan "Aceh Bak Mata Donya" seketika Wali Hasan adalah anak Aceh yang benar-benar paham tentang Aceh (Acehnese). Dalam dua perbedaan inilah kita tidak bisa melihat seseorang dalam satu sudut pandang saja.

Kini menjelang 15 tahun damai sejak penandatangan MoU 15 Agustus 2005 di Helnsinki, Finlandia. Nampaknya tak ada progres yang signifikan dalam merealisasi butir-butir MoU tersebut. Entah karena MoU sudah dijadikan produk hukum Indonesia yang kini di sebut Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang di sahkan oleh DPR RI. Atau memang, transformasi perjuangan politik Aceh yang sudah lemah, sedikit-sedikit ke pusat, ada apa-apa ke pusat. 'Katanya' sesuai aturan, padahal suka jalan-jalan.

Sudah 15 tahun berdamai, tak ada hal-hal yang secara substansi dapat di realisasikan. Sebenarnya kita ini payah, terlalu sibuk bergelut dengan politik di dalam rumah sendiri, saling menyalahkan, potong-potongan, sikut-sikutan, menampakan pada pemimpin kawanan bahwa "saya paling pantas", padahal semuanya nol besar. 

Seandainya Wali Hasan masih ada, mungkin ide dan gagasannya bisa membantu melanjutkan apa yang tertunda kini, namun apa boleh di kata Wali Hasan sudah tiada. Kini, ia sudah memberikan segalanya untuk Aceh. Hidupnya, anak yang tampan dan istri yang cantik, harta benda, kebahagiaan dan segalanya. Wali Hasan pernah menulis dalam The Prince Of Freedom : Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro "Saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh hidup sejahtera dan mampu mengatur dirinya sendiri". 

Tetapi kini, harta dan kekuasaan sudah terbagi-bagi dan rakyat Aceh di haruskan untuk hidup mandiri. Sebuah fakta yang terbalik dari apa yang sudah di cita-citakan oleh Wali Hasan. Semuanya kini mengejar eksistensi demi jabatan yang di sediakan oleh demokrasi lima tahunan, rakyat hanya di jenguk jelang hari pencoblosan. Jika Wali Hasan melihat Aceh hari ini, tak ada alasan baginya untuk tersenyum. Setelah 15 tahun damai, lalu apa? .

Muhammad Zaldi, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda