Menguji Taji Kepemimpinan Mualem
Font: Ukuran: - +
Foto: Abdul Hadi/acehkini
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Mualem (Muzakir Manaf) dan Partai Aceh menyita perhatian publik di beberapa hari kebelakang pasca pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) ke III partai lokal ini. Mualem bersama PA satu kesatuan tidak pernah terpisahkan karena ia manunggal. Begitulah kias publik memahami relasinya.
Maka tak bisa dipisahkan juga menilai pasang surutnya kepemimpinan Mualem bersama Partai Aceh. Fakta sejarah mencatat, eforia Partai Aceh puncaknya terlihat jelas di Pemilu 2009 berhasil mencetak rekor fantastik yakni 33 kursi dari 64 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Walaupun lambat laun dua sisi itu linear seiring berjalan mengukir sejarah. Dibuktikan trend suara Partai Aceh kian menurun di Pemilu 2014 (29 kursi/81 kursi) dan 2019 (18 kursi/81 kursi). Hal sejalan dengan “Mualem Effect” secara personal dirinya tergerus dari nilai sejati seorang pemimpin.
Terlihat ketidakmampuan Mualem meredam konflik di internal PA yang melahirkan irisan baru yakni Partai Nanggroe Aceh. Tak sampai disitu saja, eksistensi perwakilan Partai Aceh di eksekutif pun turut terkena imbasnya dimana semakin berkurang.
Dari penurunan itu, Mualem pernah menyebutkan di Milad GAM ke 14 penyebab karena lemahnya manajemen partainya dan pola sikap kadernya di pemerintahan dan parlemen. Artinya ada dua masalah serius patut diatasi melalui tindakan nyata Mualem sebagai pemimpin partai.
Ini menjadi pertaruhan serius Mualem di kepemimpinan 4 periode Partai Aceh. Eksis atau tidaknya Partai Aceh ditentukan di Pemilu 2024. Pekerjaan beratnya yaitu mengubah gaya kepemimpinan Mualem dalam menjalankan dan mengelola kelembagaan Partai Aceh.
Publik sudah cerdas menilai, Mualem harus lebih memahami cara memimpin partai, jangan sampai konstituen PA menilai melemahnya partai bukan karena manajemen atau kadernya, tetapi karena kecakapan pemimpinnya yang masih lemah mengelola partai.
Jika realitanya seperti itu, maka kekuatan di struktur dan manajemen sudah seharusnya solid dan kuat dalam membantu Mualem sebagai pemimpin di partainya. Jangan terkesan kadernya hanya menyelamatkan diri sendiri tanpa serius memikirkan PA. Butuh rasa kepemilikan, loyalitas, dan perasaan senasib menjadi perekat memajukan Partai Aceh.
Tidak mudah dan penuh dinamika pastinya di Pemilu 2024. Karena langgam politik tak pernah sama disetiap momentumnya. Keberadaan partai lokal baru dan lama, maupun Partai Nasional akan membuktikan juga eksistensi merebut hati masyarakat Aceh di Pemilu 2024 nantinya.
Sangat tergantung semua lini ditubuh kelembagaan PA itu sendiri, jika mampu melewati sumber masalah di kepartaian. Sudah bisa dipastikan PA akan kembali “reborn” membuktikan, bahwa “bargaining position” di mata penantang partai politik lainnya akan semakin ditakuti dan disegani.
Akan terjawab semuanya dari hasil Pemilu 2024 arah masa depan Partai Aceh. Atau sebaliknya akan semakin tenggelam melemah tanpa hasil memuaskan di kepemimpinan Mualem. Sejarah akan mencatatnya.