Masjid Oman Menguji Ketangguhan Persatuan
Font: Ukuran: - +
Namanya Masjid Al Makmur, terletak di Lampriet, Banda Aceh. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Masjid Oman. Masjid tempat beribadah dan berbagai kegiatan akfitas ummat.
Namun, kini masjid Oman diambil alih oleh Pemkot Banda Aceh dalam pengelolaanya, bukan lagi dikelola pengurus masjid. Pemkot Banda Aceh menyerahkan pengelolaan masjid ini kepada Dinas Syariat Islam.
Ada apa? Di masjid ini, ummat yang mengisi berbagai kegiatan keagamaan, aliranya berbeda dengan aliran yang diyakini mayoritas masyarakat Aceh. Perbedaan itu memunculkan gesekan. Beberapa kali kegiatan di masjid ini mendapat pelarangan, bahkan upaya paksa untuk menghentikanya.
Aksi penghentian kegiatan pengkajian di masjid Oman ini, kembali terjadi pada Senin malam (27/1/2020). Sejumlah massa menghentikan kegiatan pengajian yang sedang disampaikan Ustad Farhan Furaihan.
Paska adanya insiden upaya penghentian kegiatan pengkajian, Pemkot Banda Aceh ahirnya mengambil alih pengelolan masjid ini, untuk menghindari keributan. Pengambil alihan kepengurusan masjid ini sampai dengan adanya penyelesaian yang baik, sehingga tempat sujudnya ummat ini tidak lagi menjadi ajang perselihan pendapat yang menjurus kepada keributan.
Pengambil alihan kepengurusan masjid ini, berdasarkan keputusan Forkopimda Banda Aceh, demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. "Kepengurusan masjid Oman diambil alih oleh Pemda dibawah Dinas Syariat Islam," sebut Faisal, Asisten Pemerintahan Setda Aceh.
Pemkot Banda Aceh harus menyelesaikanya dengan bijak. Sehingga semua pihak merasa nyaman beribadah, sujud kepada ilahi. Perbedaan itu mampu dihilangkan, karena perbedaan dalam Islam adalah rahmat, dan menandakan kita itu bagaikan satu kesatuan tubuh.
Berbeda aliran kepercayaan dalam Islam adalah berkah. Semua dengan keyakinan masing masing. Di bumi Pertiwi Muhammadiyah menunjukan kinerja untuk membangun negeri dalam menempa ummat. Demikian dengan NU, juga menunjukan karya karya dalam goresan sejarah.
Apakah karena perbedaan aliran ini, lantas mereka harus menunjukan perpecahan dan terjadi pertikaian? Tidak seharusnya itu terjadi. Karena muslim itu bersaudara, bagikan satu tubuh. Ibarat bila ada sakit di kepala, maka denyutnya akan terasa sampai ke ujung kaki.
Perbedaan bukan harus diselesaikan dengan pertikaian bahkan menjurus kepada kekerasan. Islam itu indah dan damai, menyelesaikan persoalan dengan mengandalkan hati nurani demi menghasilkan sebuah kebersamaan.
Provinsi Aceh telah memiliki Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam. Ada dua qanun lainya tentang Syariat Islam, yakni qanun nomor 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya dan qanun nomor 13 tahun 2003 tentang maisir dan tindak pidana perjudian.
Qanun nomor 11 tahun 2002 memberikan hak kepada ummat untuk beribadah dan menyiarkan Islam. Dalam kegiatan syiar Islam harus dilakukan dengan santun dan beretika. Masjid merupakan salah satu tempat yang sentral dalam mengembangkan Syiar Islam.
Namun masjid bukanlah tempat perpecahan apalagi menjurus kepada pertikaian. Aceh itu dikenal berbudaya dan beradab. Penganut non muslim dapat dengan nyaman melaksanakan ibadahnya di bumi Aceh.
Lantas mengapa sesama muslim harus memunculkan pertikaian? Apalagi pertikaian itu dilakukan di masjid, itu bukanlah gambaran budaya Islam. Karena Islam tidak membenarkan sesama muslim melakukan pertikaian di masjid.
Berbeda aliran, Aswaja, Muhammadiyah dan Wahabi, misalnya, apakah harus menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Bukankah perbedaan itu rahmat dan harus kita pelihara, karena dengan perbedaan itu akan semakin menguatkan kita mengabdi kepada Nya?
Memakmurkan masjid adalah tugas ummat Islam, tidak pernah disebutkan memakmurkan masjid itu dilakukan oleh aliran tertentu. Kini persoalan masjid Oman, Banda Aceh, bagaikan menguji ketangguhan ummat muslim dalam menyelesaikanya secara bijak dan santun.
Pemko Banda Aceh sudah mengambil alih penyelesaianya. Semoga solusinya merupakan yang terbaik. Ibarat mengambil rambut di dalam tepung, rambut terambil, tepung tidak berserak. Artinya tidak ada pihak yang dirugikan dalam mengambil sebuah keputusan.
Perbedaan ini menjadi ruang untuk diadakanya diskusi. Ruang untuk mencari kesamaan diantara perbedaan. Membangun diskusi dalam menyelesaikan persoalan ini akan menambah khazanah pengetahuan, meningkatkan intelektualitas. Diskusi itu harus dibangun.
Aceh itu berbudaya dalam menyelesaikan persoalan dengan berlandaskan syariah Islam. Budaya yang luhur itu akan menghasilkan keputusan yang luhur. Semoga persoalan perbedaan di Masjid Oman, bukan menambah jurang pemisah, namun mampu menyatukan perbedaan.
Ada keputusan yang santun mendamaikan jiwa. Karena Islam itu damai dan santun, mengedepankan ahlaq dalam mengisi hidup di muka bumi ini.