Mari Mengawal APBA
Font: Ukuran: - +
ilustrasi
Alhamdulillah, akhirnya Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan sah atas Peraturan Gubernur atau Pergub APBA 2018. Ini merupakan perintah undang-undang-- apabila sampai batas waktu yang ditetapkan tidak ditemukan kesepakatan antara gubernur dan DPR Aceh dalam pembahasan RAPBA, maka dilaksanakan melalui pergub, kata Mendagri Tjahjo Kumolo.
Mendagri juga menyutujui pagu belanja yang diusulan sebesar Rp 15,194 triliun. Jumlah ini di atas pagu KUA-PPAS yang dibahas dengan DPRA selama ini, yakni sekitar Rp 14,7 triliun. Persetujuan itu setelah tim memeriksa usulan program dan sudah memenuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana dilansir media, bahwa gonjang-ganjing APBA yang sudah menjadi ritual akhir tahunan di pemerintahan Aceh, berhasil diatasi setelah "tuan pelatih" dengan turun ke gelanggang dan meniup peluit untuk menghentikan persiteruan "egois" antar dua pihak (DPRA dan pemerintah Aceh).
Dalam pertemuann Mendagri dengan Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud di Jakarta, Rabu (21/3), menyatakan pengesahan RAPBA itu harus dilakukan, setelah pihaknya melalui Dirjen Bina Keuangan Daerah telah memberi waktu selama satu minggu kepada DPRA dan Gubernur Aceh untuk menemukan kata sepakat. "Tapi nyatanya, tak ada kesepakatan," imbuh Mendagri seraya menjelaskan, bahwa konsekwensi dari Pergub APBA adalah anggaran tidak boleh melebihi dari anggaran tahun lalu. "Itu artinya akan ada Rp 230 miliar yang akan terpangkas," takata Mendagri.
Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) yang diketuai Sekda Aceh, Drs Dermawan MM. mengaku lega. "Karena tugas kami selesai. Tapi secara teknis kami masih harus melakukan penyempurnaan, mungkin dibutuhkan dua hari," ujarnya.
Dipergubkan APBA menandai usai sudah dinamina politik anggaran Aceh itu. Langkah selanjutnya, melakukan penetapan dan menyusun Daftar Pelaksaan Kegiatan atau DPK untuk selanjutnya dioperasionalkan. Tinggal lagi, Pemerintah Aceh melaksanakan berdasarkan e-planning dan e-budgetting itu niscaya mewujudkan program-program pembangunan pro-rakyat.
Kita percaya itu. Karena sesuai misi pemerintahan Irwandi-Nova mewujudkan Aceh hebat dan bermartabat; sesuai doktrin dan semangat pasal 23 ayat (1) UUD Negara RI 1945, bahwa APBA itu dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini harus menjadi dasar bagi Pemerintah Aceh sebagai pemangku amanah melaksanakan APBA,. Artinya, penggunaan anggaran haruslah sesuai dengan platfon yang menyentu kepentingan dan hajat hidup yang mendasar dari rakyat Aceh. Karena sesungguhnya rakyat sudah menyematkan harapan mereka.
Ajakan gubernur Irwandi Yusuf sebagaimana ditulis status facebooknya, "Alhamdulillah APBA sudah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri, hari ini tgl 21 Maret 2018, Ayo kita kawal bersama", patut diapresiasi, dan berharap bukan hanya sekedar lip servis atau basa basi belaka, melainkan harus menjadi berkah bagi rakyat.
Dari respon para nitizen, menjadi indikator begitu besar harapan rakyat Aceh. Di antaranya mengingatkan pemerintah Aceh benar-benar serius membangun dan mengatasi kemiskinan dan pengangguran, mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, karena dana APBA diperioritaskan pada sektor sektor produktif, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan ekonomi kreatif.Kecuali ituk harus menghilangkan korupsi di Aceh. Pernyataan gubernur Irwandi "hana fee" tidak lagi menjadi budaya para pejabat di Aceh.
Ada juga yang menyarankan agar Aceh kembali menjadi wilayah swasembada pangan, maka perlu program transmigrasi lokal setiap kabupaten. Perlu memfokuskan program di wilayah-wilayah yang selama ini terabaikan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia Aceh dengan adanya pelatihan dan peningkatan keterampilan yang terapan dan prospektif.
Intinya, program dari dana APBA tidak lagi membangun proyek-proyek mercusuar, melainkan dapat mensejahtrakan rakyat Aceh. Selama ini banyak program yang diajukan Pemerintah Aceh belum memiliki kekuatan politik untuk menyejahterkan rakyat. Muatannya belum mewakili kebutuhan yang riel rakyat, karena masih berkutat pada kepentingan transaksional antarkepentingan, yang dibahasakan oleh pengamat ekonomi Rustam Effendi sebagai "kenduri besar para elite".
Banyaknya catatan kritis sepanjang program APBA, seperti banyaknya program yang "lucu-lucu", sengkrut politik kubu eksekutif dan legislatif sehingga selalu berlarutnya pengesahan, sudah harus diakhiri. Semua itu harus jadi koreksi dan pembelajaran bagi para pemimpin di Aceh.
Lihatlah realitas rakyat dengan hati-nurani. Sehingga tidak terus memilih kepentingan personal, kolegial (pribadi dan partai, kelompok). Budaya politik tanpa karakter yang mencederai keadilan atas rakyat, harus dikubur agartidak penyakit ganas.
Seperti diingatkan Ketua Umum Partai SIRA, Muhammad Nazar, agar semua pihak mengakhiri polemik, karena Pergub RAPBA kali ini bukan sekadar harus menjadi pilihan tetapi harus diperlakukan sebagai sebuah tanggung jawab eksekutif di bawah pimpinan gubernur. Lalu pelaksanaannya di lapangan otomatis harus menjadi tanggung jawab bersama eksekutif dan melibatkan tanggung jawab pengawasan legislatif serta publik secara ketat.
Semua komponen masyarakat termasuk partai politik baik lokal maupun nasional yang ada di Aceh, papar Nazar, harus selalu menyadari bahwa perputaran ekonomi di Aceh masih didominasi oleh sumber uang negara, bukan dari produktivitas industri, investasi swasta, perdagangan dan tidak dominan juga dari sumber perpajakan lokal. "Kita berharap agar ini menjadi pergub pertama dan terakhir untuk APBA," pungkasnya.
Semua pihak harus realistis untuk suatu kebutuhan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat Aceh. Kita tidak hanya membutuhkan kepintaran tetapi pelunya komitmen moral, sehingga tidak terus mempertunjukkan perilaku vulgar yang memalukan, dan menafikan amanah mengurus uang negara untuk rakyat. Mari menyerahkan tanggung jawab APBA kepada eksekutif, sementara legislatif meningkatkan pengawasan. Semoga Aceh hebat!