Anggaran Pokir Antara Kebutuhan dan Permainan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Sorot mata dan sentral isu tertuju di Gedung beralamat Jln. Tgk. Daud Beureueh, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Bukan karena kinerja dibahas oleh publik ataupun berjuang urusan Aceh. Tapi lantaran bocornya buku pokok pokok pikiran (Pokir) dewan yang tersebar ke masyarakat luas.
Pro dan kontra terlihat jelas petanya, logika dibangun sangat rasional. Sebagian mengatakan wajar anggota dewan memiliki anggaran Pokir, jelas kebutuhan untuk konsistuen mereka dan operasional ketika masyarakat di daerah pemilihannya (Dapil) membutuhkan bantuan. Tidak sedikit mereka yang datang meminta bantuan kepada sang dewan. Memang tidak berbanding lurus dengan gaji realnya sebagai anggota dewan.
Jadi tidak salah keberadaan anggaran Pokir, karena itu tuntutan dari masyarakat yang dibebankan kepada anggota dewan ketika melakukan reses, Sosper, maupun pertemuan terbuka ketika turun ke Dapil masing-masing. Bisa kita katakana “Pokir” salah satu cara mengalokasikan sumberdaya ke dalam APBD melalui peran aktif anggota DPRD sebagai penyambung lidah masyarakat pemilih yang diwakilinya.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 104 dan 157 UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, diperkuat Pasal 161 UU 23/2014 menegaskan bahwa anggota DPRD berkewajiban untuk menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Hal ini senada dengan Pasal 87, 88, dan 129 PP No. 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa reses digunakan oleh DPRD untuk mendalami aspirasi dan pengaduan dari masyarakat, serta menyerap dan menindaklanjuti pengaduan dan aspirasi masyarakat tersebut.
Lain hal penilaian sebagian lagi menyatakan besar sekali anggaran dikelola anggota dewan, sedangkan rakyat menjerit dan melarat karena kemiskinan. Ini jelas terjadi disparitas antara anggota dewan dengan konsistuennya.
Ada kesalahan pola hubungan konsistuen dengan wakil rakyat di parlemen sehingga menyebabkan gap yang terbentuk. Karena dewan hadir ke konsistuen saat butuh suara, bukan membantu menata daerah pemilihannya secara maksimal sebagai bentuk tanggungjawab, menjaga kepercayaan, serta relasi emosional.
Kembali membahas bocornya buku Pokir, itu merupakan pintu masuk penataan kelembagaan DPRA agar lebih transparansi dan akuntabilitas. Banyak kritikan, saran untuk hal ini jangan dianggap sebatas angin lalu. Jangan sampai tabiat ingin menutupi anggaran Pokir, ahirnya menegaskan rasa keterbukaan dan rasa tanggung jawab, tidak ada diperilaku sang dewan.
Perlu difahami, dokumen anggaran pokir bukanlah kitab suci perlu dijaga secara eksklusif, atau jangan jangan menutupi anggaran pokir takut tidak bisa dikerjakan sendiri maupun berbagi dengan orang lain. Jangan sampai perilaku itu menjadi jurus handal menilai uang negara dengan variasi baru sebagai pelaksana kerja atas kegiatan mereka sendiri.
Ahirnya bertambah tupoksi mereka bukan hanya legislasi (legal drafting), anggaran (budgeting), pengawasan (controlling), satu lagi kontraktor Pokir. Timbul conflict of interest antara fungsi pengawasan DPRA dengan pemilik pokir.
Masalah utama keberadaan anggaran Pokir, faktanya program usulan Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA) berkurang. Tahun 2019 masih terdapat program regular dinas atau badan, namun sejak 2000 “ hingga saat ini 90% lebih isi anggaran dinas adalah anggaran Pokir.
Jikalau anggaran Pokir yang besar linear dengan kinerja memuaskan, tercermin melalui program legislasi daerah (Prolegda) dan aktivitas nyata lainnya terlihat jelas ke publik, tidak masalah jika anggaran pokir dibutuhkan. Faktanya antara kinerja dan anggaran pokir berbanding terbaik dari harapan masyarakat Aceh.
Cara paling ampuh memperbaiki citra diri ialah dengan merebut kepercayaan publik melalui pemaksimalan kinerja, terutama tugas legislasi yang masih kedodoran. Itulah cara paling jitu merebut hati publik.
Jadi anggaran Pokir DPRA bukanlah barang haram, maupun bukan sesuatu yang dilarang secara hukum. Karena itu hak angggota dewan yang diatur nyata melalui UU maupun peraturan turunan lainnya.
Terpenting bagaimana cara merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan Pokir secara transparan dan akuntabel. Jangan sampai muncul kecemburuan sesama anggota dewan ataupun konsistuennya.
Maka perlu disusun secara jelas bagaimana cara merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan Pokir secara transparan dan akuntabel. Untuk itu agar tidak terulang kembali, kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dan DPRA/DPRK harus membuat peraturan yang lengkap dan jelas (tidak multitafsir) terkait mekanisme.
Sudah saatnya kita berbenah, memperbaiki tatatan, agar kedepanya semakin baik. Tahu persis apa yang dibutuhkan negeri ini, apa yang diiginkan publik. Bukan mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok. Bukan menjadikan sebagai permainan.