kip lhok
Beranda / Sosok Kita / Yusbi Yusuf, dari Rohaniawan menuju Kursi Dewan

Yusbi Yusuf, dari Rohaniawan menuju Kursi Dewan

Rabu, 14 Februari 2018 21:07 WIB

Font: Ukuran: - +



Dialeksis - Permasalahan kesejahteraan rakyat selalu menjadi persoalan yang tak habisnya dibicarakan publik, terutama terkait dengan kepedulian anggota legislatif terhadap perkara tersebut.

Hal itulah yang menjadi salah satu kekhawatiran Ust Yusbi Yusuf, Rohaniawan Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RUSDZA) Banda Aceh.

Menurut pria kelahiran Aceh Utara, 20 Oktober 1974 ini, ketika seseorang sudah terpilih menjadi wakil rakyat, maka orang tersebut akan menjadi eksklusif. Prinsip mereka juga sudah bukan lagi bagian dari masyarakat dan merasa dirinya hanya sebagai seorang pejabat.

"Ada satu nilai yang belum ketemu, terutama dalam hal pelayanan publik. Ini dalam hal kecil saja, misalnya ada perusahaan yang membongkar badan jalan. Nggak ada yang kemudian mempertanyakan ini kapan ditutup balik, sehingga nggak mengganggu perjalanan masyarakat. Hal-hal sederhana seperti itu," ujarnya kepada Dialeksis, Jumat, 9 Februari 2018 lalu.

Ia menambahkan, hal-hal kecil seperti itulah yang harus ditangani oleh pemerintah. Karena itu, ia tak mempersoalkan hal-hal besar lagi dan lebih memprioritaskan hal-hal kecil.

"Tapi justru hal-hal kecil beginilah yang membuat masyarakat dongkol, karena tidak terlayani," kata suami Cut Yusmiati itu.

Karena itu, ayah dari dua orang putra ini bertekad maju sebagai calon legislatif (caleg) dalam Pileg 2019 nanti melalui Partai Nanggroe Aceh (PNA).

Selama ini, kata Yusbi, pola pemikiran masyarakat semakin apatis terhadap anggota dewan karena dianggap tidak lagi mau mendengarkan aspirasi masyarakat. Menurut Yusbi, pemikiran seperti itu harus diubah.

"Langkah yang saya lakukan untuk mengubah frame pemikiran seperti ini adalah dengan mengganti bahasanya. Kalau dulu kan bahasanya itu "saya menjabat sebagai anggota DPR." Kalau namanya menjabat itu mengarah kepada jabatan, sudah mulai jauh dari masyarakat. Jadi diganti menjadi "saya sekarang wakil rakyat saya di DPR." Jadi corongnya masyarakat untuk menyampaikan kritik dan saran kepada pemerintah," tuturnya.

Sebelumnya, pria yang tinggal di Gampong Lampriet, Kelurahan Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam ini merintis karier sebagai penyiar radio Baiturrahman sejak tahun 1994 hingga 1998. Kemudian beralih profesi menjadi penyanyi Aceh selama 10 tahun sejak 1996 hingga 2006.

Saat ini, Yusbi juga dipercayakan sebagai Imam Masjid Oman Lampriet sejak 2012 lalu hingga saat ini. Selain itu, ia juga bekerja sebagai rohaniawan di RSUDZA Banda Aceh terhitung sejak 2014 lalu hingga kini.

Ia menegaskan, seharusnya setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat, bagaimanapun caranya harus diketahui oleh anggota dewan terlebih dahulu.

"Jadi harus menjemput masalah. Makanya menurut saya, anggota DPR itu nggak perlu berada di kantor, kecuali ada hal-hal yang sifatnya musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Tapi, kan nggak setiap hari musyawarah," tegasnya.

Terkait dengan pemberitaan yang menyebutkan bahwa Kota Banda Aceh masuk dalam kategori 10 kota paling tidak layak ditinggali menurut hasil survei Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.

Hasil survei tersebut menunjukkan Kota Banda Aceh berada pada peringkat 6 untuk kategori 10 kota paling tidak layak dihuni dengan nilai kelayakan sebesar 60,9 persen. Aspek utama yang menjadi penilaian adalah aspek ketersediaan pangan, tempat ibadah, air bersih, pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Terkait hasil survei tersebut, Yusbi mengakui memang banyak persoalan yang belum tuntas saat ini di Banda Aceh.

Persoalan-persoalan itu, kata Yusbi seperti air bersih (PDAM), transportasi, pelayanan publik dan permasalahan lainnya. Menyikapi hal tersebut, Yusbi mengatakan bahwa intelijen wali kota sebenarnya adalah anggota dewan dan SKPD-nya.

Karena itu, langkah yang akan diambilnya jika kelak terpilih sebagai anggota dewan yaitu dengan turun dan melihat langsung kendala yang dihadapi masyarakat di lapangan, dan tidak menunggu munculnya persoalan dulu.

"Misalnya masalah kesiapan PDAM. Jadi wakil rakyat harus lebih dulu melihat langsung persoalan ini di lapangan. Jangan nunggu masalah baru datang dulu, harus lihat terus ke sumber masalah PDAM-nya. Jadi jangan tunggu mati air dulu baru datang, harus tahu mesinnya, pipanya, dan hal lain," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, survei yang dilakukan IAP Indonesia terkait indeks kota layak huni di Indonesia atau Most Liveable City Index (MLCI) 2017 berdasarkan hasil survei yang digelar di 26 kota dan 19 provinsi.

Sementara terkait permasalahan yang dihadapi konstituen di Dapil-nya saat ini, Kecamatan Kuta Alam, menurut Yusbi adalah persoalan kemiskinan. Hal itu terjadi, sambungnya akibat paradigma berpikir terutama di Gampong Lampriet yang dianggap sebagai kampung elite.

"Karena lebih daripada orang miskin, padahal sebetulnya banyak juga orang miskin di sini dan butuh corong untuk menyampaikan kemiskinan mereka," ujarnya.

Dalam skala yang lebih luas untuk Kota Banda Aceh, persoalannya lebih kompleks. Sebagai salah satu kota yang sudah menuju ke arah metropolitan yang ditandai dengan pesatnya lalulintas informasi dan teknologi, karakteristik masyarakatnya pun sudah tentu akan berubah.

Menyikapi hal tersebut, Yusbi mengaku ingin berfokus pada kaderisasi para dai. Selama ini, kata Yusbi, persoalan yang tidak pernah dibedah saat ini adalah terkait peran dai yang belum menyentuh hal-hal esensial dalam masyarakat.

Menurut Yusbi, status dai dalam masyarakat saat ini sangatlah eksklusif. Hanya dari mimbar ke mimbar. Padahal, kata Yusbi, para dai haruslah banyak turun langsung ke masyarakat dan melihat persoalan mereka.

"Saya akan meminta pemerintah untuk mengajak para dai memahami bagaimana keinginan pemerintah dalam rangka memperbaiki moral dan masyarakat," ujar lulusan Dayah Darussaadah Matang Glumpang dan MAN Bireuen itu.

Selain para dai-dai muda, Yusbi juga menegaskan akan melakukan pembinaan terhadap kepala kampung, imam kampung, dan pemerhati sosial sehingga memiliki konsep dan visi yang sama dengan pemerintah agar terpenuhinya kesejahteraan masyarakat.

"Kewajiban pemerintah dan anggota dewanlah dalam mengatur masyarakatnya terkait pembuatan aturan-aturan untuk menyejahterakan masyarakat," tegasnya. []

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda