kip lhok
Beranda / Sosok Kita / Stephen Hawking: Wanita merupakan misteri terbesar alam semesta yang belum berhasil ia pahami

Stephen Hawking: Wanita merupakan misteri terbesar alam semesta yang belum berhasil ia pahami

Rabu, 21 Maret 2018 17:19 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM, London - Tak seperti biasanya, astrofisikawan Stephen Hawking membahas soal perempuan. Menurut ilmuan jenius itu ada misteri terbesar alam semesta yang belum berhasil ia pahami adalah perempuan.

Majalah sains New Scientist yang menanyai penulis buku Brief History of Time itu, apa yang paling menguras pikirannya, Stephen Hawking, yang mengungkap beberapa pertanyaan yang paling rumit dalam fisika modern, menjawab, "Wanita. Mereka adalah misteri."

Stephen Hawking mengatakan, lima orang paling berkuasa di Inggris Raya adalah perempuan. Profesor dari University of Cambridge itu mengklaim, hal tersebut adalah dampak dari "pergeseran seismik" dalam kesetaraan gender. Lima perempuan paling berkuasa tersebut -- Ratu Elizabeth II, PM Theresa May, pemimpin Skotlandia Nicola Sturgeon, Menteri Dalam Negeri Amber Rudd, dan kepala Kepolisian London (Met Police) Cressida Dick -- adalah bukti bahwa zaman telah berubah.

Namun, Stephen Hawking menyebut, hal itu belum terjadi di sektor privat. "Aku menyambut baik tanda-tanda kebebasan perempuan," kata dia saat diwawancarai Piers Morgan dalam acara Good Morning Britain ITV, seperti dikutip dari Telegraph pada 20 Maret 2017.  "Namun, masih ada kesenjangan pencapaian perempuan dalam status tinggi di sektor publik dan sektor privat."

Stephen Hawking menambahkan, hal serupa juga terjadi di Eropa. Misalnya Angela Merkel yang menjabat sebagai Kanselir Jerman. "Kita sedang menyaksikan pergeseran seismik yang memungkinkan perempuan mencapai posisi tinggi dalam bidang politik dan masyarakat," tambah dia.

"Saya selalu menjadi pendukung hak-hak perempuan. Saya memberikan kesempatan pada kaum wanita untuk kuliah di kampus saya, Gonville and Caius College, Cambridge. Hasilnya luar biasa."

Tutup Usia

Stephen Hawking meninggal di usia 76 tahun. Menurut pernyataan pihak keluarga yang dirilis pada Rabu (14/3/2018) waktu setempat, ilmuwan kelahiran Oxford itu meninggal di rumahnya di Cambridge.

"Kami sangat sedih bahwa ayah kami tutup usia pada hari ini," demikian pernyataan yang dirilis anak Hawking, yakni Lucy, Robert, dan Tim, seperti dikutip dari The Guardian.

"Dia adalah ilmuwan hebat dan pria luar biasa yang pekerjaan dan warisannya akan terus digunakan selama bertahun-tahun. Keberanian dan ketekunannya dengan kecemerlangan dan humornya menginspirasi orang-orang di seluruh dunia."

"Dia pernah berkata, 'Semesta bukanlah semesta jika itu bukan menjadi rumah bagi orang-orang yang Anda cintai.' Kami akan merindukannya selamanya," demikian pernyataan tersebut.

Stephen Hawking sendiri pernah didiagnosis menderita penyakit neuron motorik pada usia 21 tahun -- tahun 1963. Kala itu hidupnya divonis tinggal 2 atau 3 tahun lagi.

Hawking dikenal sebagai ilmuwan cerdas yang mampu menelurkan berbagai riset di bidang fisika. Meski menderita penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan harus menghabiskan hidupnya duduk di kursi roda.

Hawking ternyata masih mampu mendulang kekayaan yang tidak sedikit. Dilansir dari Inverse.com, Rabu (14/3/2018), ilmuwan satu ini memiliki kekayaan mencapai US$ 20 juta atau setara Rp 273 miliar. Kekayaan tersebut sebagian besar dihasilkan dari hasil diversifikasi pendapatan Hawking sepanjang hidupnya.

Pria 72 tahun ini memiliki sumber pendapatan yang beragam. Stephen Hawking merupakan direktur di lembaga riset ternama Center for Theoretical Cosmology at the University of Cambridge. Tentu, posisi prestigius itu pun bisa memberi Hawking gaji yang tidak sedikit.

Selain itu, ia juga merupakan penulis berbagai buku laris. Buku terlarisnya, A Brief History of Time,mampu menduduki puncak buku paling laris koran Sunday Times di Inggris selama lebih dari empat tahun.

Sosok Hawking juga telah menginspirasi banyak produser untuk membuat acara televisi dan film yang berkisah tentang dirinya. Film Theory of Everything yang dibintangi oleh Eddy Redmayne sukses mencetak keuntungan tak sedikit di Box Office.

Pada tahun 2012, Hawking mendapat hadiah US$ 3 juta karena memenangi penghargaan Fundamental Physics Prize. Penghargaan tersebut diberikan oleh miliarder Rusia Yuri Milner.

Meski memiliki harta berlimpah, tidak ada keraguan Stephen Hawking telah menggunakan kekayaannya untuk membantu meningkatkan profilnya, serta memperluas pengaruhnya, baik di dunia ilmiah maupun ranah publik.

Kegeniusan Stephen Hawking di bidang fisika dan kosmologi membuat penduduk dunia berdecak kagum. Banyak orang bertanya-tanya tentang tingkat kecerdasan intelektual (IQ/Intelligence Quotients) pria Inggris ini semasa hidup.

Melansir laman Science ABC, Rabu (14/3/2018), Stephen Hawking memiliki tingkat IQ 160. Tak heran, orang tentu akan maklum bila melihat teori-teori yang dia hasilkan. Dua teori yang lekat dengannya adalah mengenai lubang hitam dan kehidupan sebelum big bang.

Pada tahun 1970-an, Stephen Hawking menerbitkan teori yang menjelaskan tentang lubang hitam dan bagaimana semesta dimulai. Di tahun 1988, Stephen Hawking mulai dikenal masyarakat luas--tidak hanya insan sains--ketika dia menerbitkan buku A Brief History of Time. Buku ini laris manis dan membuat ilmuwan berkursi roda dan bersuara robot ini jadi selebritas.

Pada tahun 1960-an, Hawking divonis menderita penyakit saraf motorik, yang membuatnya harus menggunakan kursi roda. Hal itu tidak menghambatnya untuk terus melaju dengan gemilang. Tahun 1977 dia meraih posisi Lucasian Chair of Mathematics di University of Cambridge, Britania Raya. Sebelumnya, posisi ini dipegang oleh sang penemu gravitasi, Isaac Newton.

"Disabilitasku bukanlah penghambat yang besar dalam bidangku, yaitu fisika teoritis. Bahkan, kondisi ini sedikit banyak membantuku," tulis Hawking dalam esainya di tahun 1984, melansir Buzzfeed, Rabu (14/3/2018).

Hawking mengatakan, penyakitnya itu memberinya waktu untuk memikirkan berbagai permasalahan fisika, dan bukannya mengajar atau mengerjakan tugas administratif.

"Hawking memikirkan semesta dengan cara yang berbeda, karena keterbatasan fisiknya," ujar Kip Thorne, ahli fisika dari Caltech pada tahun 2013 tentang Stephen Hawking. "Hal itu memungkinkannya untuk membuat penemuan yang tidak bisa diciptakan orang lain. Dan dia sudah melakukannya. Hal itu telah mengguncang fondasi fisika."

Dua minggu sebelum kematiannya, ilmuwan ini sempat mengajukan hasil penelitian yang menakjubkan. Dalam makalah yang diberi judul "A Smooth Exit from Eternal Inflation" itu berisi ramalannya mengenai akhir dunia.

Hawking memprediksi bahwa dunia akan benar-benar berakhir ketika bintang-bintang sudah kehabisan energinya. Ia menyatakan bahwa pada saat itu, alam semesta akan menjadi gelap gulita.

Stephen juga mengungkapkan hal yang tak kalah mengejutkan. Ia menyatakan bahwa para ilmuwan bisa mencari alternatif alam semesta yang lain. Hal itu bisa dilakukan dengan cara penyelidikan lewat pesawat antariksa.

Dengan cara tersebut, Stephen berharap manusia bisa membentuk pemahaman yang lebih baik tentang alam semesta mereka sendiri. Tentang apa saja yang ada di luar sana dan letak kita sesungguhnya di jagat raya.

Karya fenomenal terakhir fisikawan dunia tersebut diterbitkan bersama rekan penulisnya, Profesor Thomas Hertog, dari KU Leuven University di Belgia. Profesor Thomas menyebutkan bahwa makalah ini merupakan jawaban dari isu yang sudah menggaggunya selama 35 tahun. Oleh karena itu, ia merasa sangat sedih lantaran Stephen harus meninggal dunia saat ia bisa saja mendapatkan hadiah nobel dari hasil pemikiran menakjubkannya ini.

"Dia sering dinominasikan untuk nobel dan seharusnya ia bisa menang," ujar Profesor Thomas. "Sekarang, ia benar-benar tidak bisa lagi menang" (*)


Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda