Harmoko Jurnalis Pengukir Sejarah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Tuhan memberikan kesempatan kepada lelaki kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939 menghirup udara dunia sampai 82 tahun. Lika-liku hidupnya sudah menggoreskan sejarah di Bumi Pertiwi.
Dia pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di era Presiden Soeharto selama 14 tahun. Menjabat sebagai ketua MPR RI. Namanya identik dengan Kelompencapir dan menjaga stabilitas nasional melalui pemberitaan “konstruktif”.
Harmoko demikian nama yang diberikan ayahnya Asmoprawiro. Siapa lelaki yang menghembuskan nafas terahir, Minggu (4/7/2021) pukul 20.22 WIB di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta? Inilah sekilas sosok jurnalis yang sudah membuat catatan sejarah di bumi pertiwi.
Dia memulai karirnya sebagai wartawan setelah lulus SMA pada tahun 1960-an. Harmoko bekerja sebagai wartawan dan kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka.
Dari berbagi sumber yang berhasil Dialeksis.com kumpulkan, Harmoko juga pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Angkatan Bersenjata dan kemudian Harian API tahun 1965. Menjadi pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko.
Pada tahun 1966 sampai 1968 menjadi pemimpin dan penanggung jawab Harian Mimbar Kita. Bukan hanya sampai disitu, media lain juga dikelolanya. Harmoko bersama beberapa orang temannya pada tahun 1970 ia menerbitkan harian Pos Kota.
Media yang kemudian menjadi tenar di pusat pemerintahan Indonesia. Karirnya di dunia jurnalistik terus membaik. Harmoko terpilih menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada tahun 1983 menjabat Menteri Penerangan pada pemerintahan Soeharto di masa Kabinet Pembangunan IV.
Jabatannya sebagai Menteri Penerangan berlanjut hingga di Kabinet Pembangunan VI yang berakhir pada tahun 1997. Harmoko pernah mendirikan gerakan Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang dimaksudkan sebagai media untuk menyampaikan informasi dari pemerintah.
Selain itu, Harmoko pernah menjabat Ketua Umum Golkar pada periode 1993-1998. Terakhir, ia menjabat sebagai Ketua MPR pada 1997 sampai 1999.
Kebijakan lainya yang dikeluarkan Harmoko (seperti ditulis Tempo 12 Januari 2003, Harmoko mewajibkan para pemimpin media massa nasional untuk sering berkumpul dan mendengarkan wejangannya menjaga stabilitas nasional melalui pemberitaan “konstruktif”.
Sebagai Menteri Penerangan paling lama di Kabinet Soeharto, Harmoko memiliki wewenang luar biasa. Dia mengeluarkan izin penerbitan, menentukan hidup-mati media, menjadi tempat bergantung nasib puluhan ribu pekerja pers, mengontrol pemberitaan.
Pada 1984, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini menerbitkan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Ia menerbitkan Peraturan No.1/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
SIUPP adalah surat izin yang diperlukan perusahaan penerbitan dan pers untuk menjalankan usahanya di era Orde Baru. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, serta dianggap merepresi Pers. SIUPP kerap digunakan pemerintah untuk memberangus perusahaan pers yang tidak sejalan.
Ada tiga media yang dicabut SIUPP-nya oleh Harmoko (1994) yakni Tempo, Editor, dan Detik. Pencabutan SIUPP itu menjadi yang kedua kalinya dialami Tempo.
Pada saat berlangsungnya demo besar-besaran di era reformasi yang berahir lengsernya Soeharto dari jabatan Presiden, Harmoko masih menjadi orang berpengaruh yang membisiki Presiden Soeharto.
Seperti dilansir Detik.com (22 Mei 2008). Harmoko membebrkan apa yang dia lakukan saat kondisi sosial di Pertiwi, kondisi politik, dan ekonomi ketika itu sedang mengalami krisis.
"Kita waktu itu ingin menyelamatkan rakyat dari pertumpahan darah. Kepentingan utamanya di situ. Dan Pak Harto juga tahu. Pada kesempatan itu saya menyampaikan beberapa data, baik yang datang dari lapisan masyarakat maupun mahasiswa yang sudah memenuhi gedung DPR," kata Harmoko, seperti dilansir Detik.com.
Tiga permintaan Harmoko kepada Soeharto, harus melakukan reshuffle kabinet, melakukan reformasi dan ketiga rakyat meminta Soehato untuk mengundurkan diri. Ketiga permintaan itu dilaksanakan Soeharto.
Sebagai orang politik dengan bendera kuning beringin, Harmoko sukses dan berhasil memengaruhi hasil pemilihan umum (Pemilu). Dia mewujudkan keinginanya melalui "Safari Ramadhan". Sebagai Ketua Umum DPP Golkar, Harmoko dikenal pula sebagai pencetus istilah "Temu Kader".
Harmoko adalah sipil pertama yang menjadi ketua Golkar pada tahun 1993-1998. Baru setelah Harmoko pimpinan Golkar selanjutnya dikendalikan sipil.
Banyak catatan sejarah yang sudah ditorehkan Harmoko untuk Pertiwi. Catatan sejarah itu menjadi penghias negeri bahwa seorang jurnalis sudah pernah memahat ukiran dalam proses perjalanan bangsa.
Kini lekaki yang mulai karirnya dari wartawan sampai menjadi menteri dan ketua MPR RI, sudah kembali ke haribaan Ilahi. Perjanan seorang Harmoko yang diberi kesempatan oleh yang maha kuasa menghirup udara dunia mencapai 82 tahun. Selamat jalan jurnalis. **** (Bahtiar Gayo)