Sabtu, 20 September 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Tokoh GAM: Ribuan Triliun Hasil Alam Aceh Dijarah, Pusat Jangan Hanya Hitung Otsus

Tokoh GAM: Ribuan Triliun Hasil Alam Aceh Dijarah, Pusat Jangan Hanya Hitung Otsus

Sabtu, 20 September 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Tengku Muda, tokoh GAM wilayah Peureulak sekaligus wakil almarhum Ishak Daud. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tengku Muda, tokoh GAM wilayah Peureulak sekaligus wakil almarhum Ishak Daud menilai isu dana Otonomi Khusus (Otsus) yang akan berakhir pada 2027 turut menjadi sorotan.

Sejak perdamaian, lebih dari Rp100 triliun telah digelontorkan ke Aceh. Namun, pemerintah pusat kerap mempertanyakan penggunaannya.

“Apakah pemerintah lupa berapa ribu triliun uang Aceh yang diambil dari hasil minyak dan gas Arun, serta dari hasil bumi lainnya puluhan tahun? Kalau mau adil, kembalikan setengah saja dari hasil alam itu kepada rakyat Aceh. Dengan begitu, rakyat bisa hidup sejahtera, bahagia, dan menikmati hasil bumi sendiri,” tegas Tengku Muda kepada Dialeksis.com, Sabtu, 20 September 2025.

Baginya, mempermasalahkan dana Otsus tanpa menimbang sejarah panjang eksploitasi kekayaan Aceh adalah bentuk nyata ketidakadilan.

Tak hanya pemerintah pusat, Tengku Muda juga mengingatkan elit lokal, termasuk DPR Aceh, agar tidak hanya berfokus pada kepentingan pribadi.

“Kami dulu berjuang dengan taruhan nyawa tanpa imbalan apapun. Tujuan kami jelas rakyat Aceh bisa hidup sejahtera dan merdeka dari tekanan siapa pun. Namun kenyataannya, konflik berakhir dengan perdamaian yang banyak tipu-tipu,” ungkapnya.

Ia mendukung rencana Gubernur Aceh yang berupaya mengusulkan dana abadi bagi mantan kombatan GAM. “Semoga rencana itu benar-benar diwujudkan, agar kawan-kawan kombatan bisa menikmati sedikit hasil dari perjuangannya. Kalau pejuang DI/TII saja masih dapat hak veteran, kenapa kombatan GAM tidak bisa?” ujarnya.

Ia menolak wacana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Menurutnya, langkah itu justru berpotensi melemahkan substansi perdamaian yang telah susah payah diraih.

“UUPA tidak perlu direvisi. Yang harus dilakukan adalah menjadikan poin-poin MoU RI-GAM sebagai undang-undang yang mengikat di Aceh. Itu sudah jelas tertuang dalam perjanjian, bahwa selambat-lambatnya Maret 2006 kesepakatan harus dijalankan. Tetapi sampai hari ini, sudah dua dekade berlalu, banyak yang diabaikan,” ujarnya. 

Tanggal 15 Agustus 2005 tercatat sebagai titik balik sejarah Aceh, perjanjian damai ditandatangani di Helsinki, membawa harapan besar setelah puluhan tahun konflik bersenjata. Namun bagi Tengku Muda, semangat itu kian pudar karena janji-janji yang tidak ditepati pemerintah pusat.

“Berulang kali pemerintah Indonesia tidak menepati janjinya. Kalau tidak sanggup, jangan berjanji. Rakyat Aceh tidak sebodoh yang Anda pikirkan. Tidak semua orang Aceh bisa dibodohi seenaknya,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid