Temuan Komnas Perempuan: Masih Marak Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan
Font: Ukuran: - +
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani [antara]
DIALEKSIS.COM | Nasional - Memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2023 Komnas Perempuan mendorong dibentuknya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis perempuan dan pelindungan kebebasan pers. Mengacu data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menunjukkan ada 51 kasus kekerasan terhadap pers sepanjang 2022. Sedangkan jumlah korban kekerasan terkait kerja jurnalistik mencapai 113 korban.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mencatat jurnalis rentan mengalami kekerasan dan ancaman, termasuk jurnalis perempuan yang rentan diskriminasi dan risiko ganda. Dia mencatat sejumlah pasal dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berpotensi mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi, serta kriminalisasi terhadap jurnalis. Hal itu bertentangan dengan pengaturan dalam UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Komnas Perempuan karenanya memandang penting adanya mekanisme perlindungan bagi jurnalis termasuk jurnalis perempuan sebagai pembela HAM yang dibangun secara bersama dan strategis,” ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (10/02/2023).
Komnas Perempuan mencatat sedikitnya 4 kasus kekerasan menimpa jurnalis perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan tahun 2022 berupa kekerasan seksual dan fisik. Periode 2021 Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) menemukan data dari 1.256 jurnalis perempuan yang disurvei terdapat 85,7 persen mengalami berbagai bentuk kekerasan dan 14,3 persen tidak pernah mengalami kekerasan.
Selain kekerasan fisik, psikis dan seksual, Andy menjelaskan jurnalis perempuan juga mengalami kekerasan berbasis siber. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam laporan tahun 2022 menyebut sekurangnya 3 kasus pelecehan seksual dari 61 kasus yang menyerang 97 jurnalis dan 14 organisasi media. Selain itu, jurnalis perempuan juga masih menghadapi diskriminasi berbasis gender untuk promosi, posisi maupun imbal apresiasi.
Jurnalis perempuan juga kerap dianggap tidak mampu melakukan tugas tertentu atau diragukan kapabilitasnya. Termasuk sulit mendapat cuti haid dan melahirkan di mana hal-hal ini bertentangan dengan ratifikasi Konvensi ILO 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
Pemerintah dan DPR perlu menyediakan sistem proteksi komprehensif yang responsif terhadap semua kerentanan pembela HAM dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk bagi jurnalis perempuan.
“Kekerasan berasis gender yang terjadi di dunia kerja berdampak negatif terhadap partisipasi perempuan, kinerja dan produktifitasnya,” ujarnya.
Dari berbagai persoalan itu, Komnas Perempuan merekomendasikan 3 hal. Pertama, pemerintah dan DPR perlu menyediakan sistem proteksi komprehensif yang responsif terhadap semua kerentanan pembela HAM dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk bagi jurnalis perempuan.
Kedua, Dewan Pers melakukan pengawasan secara reguler terhadap industri pers untuk menjamin kondisi kerja yang kondusif bagi para jurnalis perempuan. Sehingga kemerdekaan pers dapat terwujud dan berkembang secara substantif dan menyeluruh. Ketiga, industri pers dan organisasi jurnalis mengembangkan mekanisme dan standar operasional prosedur (SOP) perlindungan jurnalis dan pembela hak asasi manusia (HAM) dengan perspektif HAM berbasis gender.
Terpisah, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, mengatakan kemerdekaan pers merupakan hal yang masih diperjuangkan agar para insan pers bisa melakukan praktik-praktik jurnalistik tanpa tekanan dan intimidasi dari siapapun. Namun, kemerdekaan pers yang tidak bertanggung jawab berpotensi merugikan kepentingan publik, menghambat pemenuhan hak-hak publik, bahkan dapat mencederai rasa keadilan publik.
Ninik menjelaskan ketika menerima Dewan Pers, Senin (06/02/2023) lalu Presiden Joko Widodo mengingatkan di tengah kebebasan pers saat ini hal paling penting adalah pers yang bertanggung jawab. “Oleh karena itu, Dewan Pers memaknai bahwa pemberitaan yang bertanggung jawab adalah pemberitaan yang dikonfirmasi kebenarannya berdasarkan etika jurnalistik,” ucapnya.
Mantan komisioner Ombudsman itu berharap agar HPN tidak sekadar menjadi pelaksanaan kegiatan rutin tahunan, apalagi pada tahun politik. Tapi menjadi momentum ruang reflektif bagi pers untuk mempersiapkan pers menghadapi tahun politik. Termasuk meneguhkan profesionalisme pers dalam menegakkan kemerdekaan pers di Indonesia.
Pers harus menjadi penerang bagi publik. Pers harus mampu meningkatkan intelektualitas publik dalam membedakan antara berita bohong, berita hoaks (disinformasi/misinformasi), dan berita tidak akurat. “Jangan sampai semua informasi disebut hoaks hanya karena adanya perbedaan pandangan,” imbuh Ninik.
Komisioner Komnas Perempuan periode 2006-2009 dan 2010-2014 itu mengingatkan, indeks kemerdekaan pers 2022 menunjukkan kemerdekaan pers di Indonesia masih berada dalam rentang nilai ‘Bebas’, dengan skor 77,8 untuk tingkat nasional. Skor ini naik tipis 1,86 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Setidaknya agar indeks kemerdekaan pers dapat meningkat dan berada pada skala ‘Sangat Bebas’, Ninik meminta para insan pers terus berinovasi dan meningkatkan profesionalisme.
“Untuk itu, dibutuhkan situasi kondusif dalam berbagai lingkungan, baik dalam lingkungan sipil politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum,” pungkasnya. [hukumonline.com]