DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh resmi menahan tiga tersangka dalam perkara dugaan korupsi penyimpangan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Kabupaten Aceh Jaya.
Kasus ini melibatkan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada Koperasi Pertanian Sama Mangat/Koperasi Produsen Sama Mangat (KPSM) yang bergulir sejak tahun anggaran 2019 hingga 2023.
Ketiga tersangka yang ditahan pada Rabu, 13 Agustus 2025 itu adalah S, Ketua Koperasi sekaligus anggota DPRK Aceh Jaya periode 2024-2029, TM, mantan Kepala Dinas Pertanian Aceh Jaya (2017-2020) dan Plt Kepala Dinas (2023-2024); serta TR, Kepala Dinas Pertanian Aceh Jaya (2021-2023) yang kini menjabat sebagai Sekda Aceh Jaya.
Penahanan dilakukan di Rutan Kelas IIB Banda Aceh untuk masa 20 hari ke depan, dari 13 Agustus hingga 1 September 2025, dan dapat diperpanjang jika proses penyidikan belum rampung.
“Aspek pembuktian sudah memenuhi syarat. Kami memiliki bukti permulaan yang cukup, termasuk keterangan saksi, ahli, surat, dan dokumen. Tindakan penahanan ini dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan serta mencegah risiko para tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mempengaruhi saksi,” ujar Muhammad Ali Akbar, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh saat konferensi pers kepada awak media, Rabu, 13 Agustus 2025, di Banda Aceh.
Menurut penyidik, perkara ini berawal pada 2019-2021 ketika S mengajukan proposal bantuan PSR untuk 599 pekebun dengan lahan seluas 1.536,7 hektare.
Proposal itu diverifikasi dan direkomendasikan oleh Dinas Pertanian Aceh Jaya, lalu diteruskan berjenjang ke Dinas Perkebunan Aceh, Kementerian Pertanian RI, dan BPDPKS.
BPDPKS kemudian menyalurkan dana sebesar Rp38.427.950.000 ke rekening escrow pekebun dan KPSM sesuai perjanjian kerja sama tiga pihak.
Namun, hasil penelusuran penyidik menunjukkan banyak lahan yang diajukan bukan milik pekebun, melainkan bekas lahan PT Tiga Mitra dalam kawasan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kementerian Transmigrasi.
“Analisis citra satelit multitemporal 2018-2024 menunjukkan tidak ada tanaman sawit milik masyarakat di lokasi tersebut, hanya hutan dan semak belukar,” jelas Ali Akbar.
Meski demikian, Dinas Pertanian tetap menerbitkan rekomendasi dan SK Calon Petani/Calon Lahan (CP/CL) yang menjadi dasar penyaluran dana PSR. Alhasil, program tidak terealisasi sesuai kriteria dan negara dirugikan sebesar Rp38,4 miliar.
Ketiga tersangka dijerat pasal berlapis yaitu primair dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan subsidair dengan Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman hukuman terberat adalah pidana penjara seumur hidup atau minimal empat tahun, dan maksimal dua puluh tahun.
Dalam proses penyidikan, Kejati Aceh telah menyita dan menerima pengembalian uang sebesar Rp17.015.264.677 yang berasal dari koperasi dan pihak ketiga. Dana itu kini dititipkan di Rekening Penampungan Lain (RPL) Kejaksaan Tinggi Aceh.
“Penyelamatan uang negara ini menjadi komitmen kami. Namun, kerugian negara yang lebih besar tetap harus dipertanggungjawabkan para pihak yang terlibat,” tegas Ali Akbar.
Selain alasan hukum, Kejati Aceh menilai posisi strategis para tersangka berpotensi menghambat penyidikan. S masih aktif sebagai anggota DPRK, TR menjabat Sekda, dan TM pernah memimpin dinas yang menjadi pintu awal rekomendasi program.
“Risiko intervensi terhadap saksi atau tersangka lain sangat tinggi. Karena itu, penahanan ini langkah yang tepat,” pungkasnya.