Beranda / Politik dan Hukum / MaTA Keberatan Terhadap RAPBA 2024: Anggaran Publik Diambang Kontroversi

MaTA Keberatan Terhadap RAPBA 2024: Anggaran Publik Diambang Kontroversi

Jum`at, 02 Februari 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. [Foto: Nora/Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyampaikan catatan kritis terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) Tahun Anggaran 2024. 

Diketahui, pada Kamis, 25 Januari 2024, Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh mengeluarkan surat dengan nomor 900.I.I/1071 yang berisi tindak lanjut hasil evaluasi R-APBA T.A 2024.

Dalam surat tersebut, empat poin mendapat perhatian khusus dari MaTA, di mana poin kedua menarik perhatian dengan melarang rasionalisasi anggaran terkait dengan sumber dana terikat seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Insentif Fiskal, dan lain sebagainya.

MaTA menilai bahwa kebijakan ini mencederai hak-hak anggaran publik dan membatasi keleluasaan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) untuk melakukan improvisasi. 

"MaTA kecewa terhadap kebijakan ini dan menilai bahwa hal tersebut melegalkan pengelolaan anggaran kepada legislatif," kata Alfian dalam keterangan tertulis diterima Dialeksis.com, Jumat (2/2/2024). 

Pertama, MaTA merinci realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh-Pusat (APBA-P) tahun 2023 yang mencapai 97,7%, dengan sisanya sekitar 2,3% yang tidak terealisasi. Sisa tersebut kemudian menjadi Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp267.288.039.276. 

"MaTA meragukan penambahan sekitar Rp132.711.960.724 pada perkiraan SiLPA tahun 2023 dalam RAPBA 2024, dan mengecamnya sebagai upaya pengelembungan anggaran," ungkapnya.

Kedua, MaTA menyoroti larangan rasionalisasi anggaran dengan alasan sumber anggaran terikat. Menurut Alfian, kebijakan ini tidak memiliki dasar dan dapat memberikan keleluasaan kepada afiliasi politik untuk mengelola anggaran tanpa aturan. 

"MaTA menekankan bahwa rasionalisasi adalah prinsip melekat dalam penganggaran, dan larangan ini dapat menjadi potensi masalah hukum di kemudian hari," tuturnya.

Ketiga, MaTA mengkritisi penambahan program baru dalam pokok-pokok pikiran (Pokir), yang meningkatkan jumlahnya dari Rp400 miliar menjadi Rp1,2 triliun. 

Alfian menyatakan bahwa hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan anggaran dan meningkatkan inflasi, serta memberikan beban fiskal yang lebih besar bagi daerah. 

MaTA menuntut agar anggaran Aceh lebih berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan elit dan politisi.

Keempat, MaTA menyetujui kontribusi Aceh dalam pembiayaan Pekan Olahraga Nasional (PON) namun mendesak transparansi dalam pengumuman besaran dana sharing yang diberikan oleh Aceh. Mereka menekankan bahwa PON merupakan kegiatan nasional dan pembiayaannya seharusnya difasilitasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kelima, MaTA mendesak Penjabat (PJ) Gubernur Aceh untuk menormalisasi proses penganggaran yang sedang terjadi. Mereka mengingatkan bahwa tahun anggaran 2024 sudah berjalan, tetapi proses pengesahan anggaran belum selesai-selesai. 

MaTA mengecam potensi terjadinya praktik "cawe-cawe" anggaran dan menekankan perlunya kejelasan untuk membangun kepercayaan rakyat.

Dalam konteks ini, MaTA berharap agar Sekda Aceh dapat mempertimbangkan kembali kebijakan yang dianggap sewenang-wenang, sehingga anggaran Aceh dapat lebih transparan, efisien, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda