DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, mengungkap alasan Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, belum ditahan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR. Menurut Setyo, penahanan tersangka masih tertunda karena perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI belum selesai.
Setyo dalam keterangannya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (7/3), menyatakan,
"Tersangka belum ditahan, masih menunggu perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP untuk tersangka tujuh orang, yaitu Indra Iskandar selaku PA [Pengguna Anggaran] dkk."
Keterlambatan penahanan tersangka juga disebabkan oleh kendala ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di kedeputian penindakan, ungkap Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu.
Ia menambahkan bahwa Satuan Tugas (Satgas) perkara RJA DPR tengah melengkapi dan memperkuat bukti-bukti guna mendukung proses perhitungan kerugian negara.
Dalam proses penyidikan, sejumlah tersangka telah ditetapkan, antara lain:
Para tersangka sebelumnya telah dikenai larangan bepergian ke luar negeri selama enam bulan hingga Juli 2024. Indra sempat mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Mei 2024 dengan mempersoalkan penetapan tersangka dan penyitaan barang bukti oleh KPK, namun ia kemudian mencabut permohonan tersebut.
Sementara itu, dalam rangka penyidikan, KPK telah melakukan penggeledahan di empat lokasi di wilayah Jakarta, yakni di Gatot Subroto, Tebet, Kemayoran, dan Bintaro. Geledah yang dilaksanakan pada 30 April 2024 ini menargetkan ruang biro, ruang staf, hingga ruang kerja Sekretariat Jenderal DPR guna menyita dokumen dan bukti transaksi keuangan yang terkait dengan proyek pengadaan RJA.
Lebih lanjut, penelusuran melalui laman LPSE DPR menunjukkan pada tahun 2020, Sekretariat Jenderal DPR mengadakan empat tender pengadaan kelengkapan sarana RJA dengan nilai HPS antara Rp10 miliar hingga Rp39,7 miliar. Seluruh tender tersebut telah berstatus selesai, sementara perhitungan kerugian keuangan negara masih menjadi kunci utama untuk langkah hukum selanjutnya.