Kawasan Satwa Dialihkan untuk Lahan Mantan GAM di Aceh Timur, Menteri ATR/BPN Dikritik AGC
Font: Ukuran: - +
Reporter : Fajri Bugak
Aktivis lingkungan Suhaimi Hamid. Foto: for Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengusulkan pelepasan lahan seluas 22.000 hektare di Kabupaten Aceh Timur dialihkan untuk mantan Kombatan Gerakan Aceh Mardeka (GAM).
Pengalihan lahan tersebut mendapat kritikan dari aktivis lingkungan di Aceh AGC (Aceh Green Conservation), Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Suhaimi Hamid, Ia mengatakan
rencana peralihan lahan tersebut tidak boleh dibiarkan, karena lahan tersebut kawasan habitat dan jalur satwa di Aceh timur seluas 22.000 hektare oleh mentri ATR/BPN ke Lahan mantan kombatan GAM.
"Menurut kami merupakan bencana ekologi yang besar akan terjadi di Aceh dimasa yang akan datang jika lahan tersebut dialih fungsi," kata aktivis lingkungan Suhaimi Hamid, Minggu (18/8/2024) kepada Dialeksis.com.
Dalam penilaian aktivis lingkungan di Aceh pengalihan lahan tersebut berpotensi mengadu kekuatan antara mantan kombatan GAM dengan satwa. Sisi buruk lainnya juga akan terjadi bencana seperti banjir, punah ekosistem, punah Keanekaragaman hayati dalam kawasan tersebut.
Serta punah serapan karbon dalam menghadapi bencana iklim dimasa depan."Apakah tidak lain cara pemerintah memberdayakan kombatan dengan mengadu kombatan GAM dengan Gajah. Seharusnya Pemerintah logislah pemikirannya," ungkap Suhaimi Hamid.
Aktivis Lingkungan di Aceh dari yayasan Aceh Green Conservation (AGC) dan Forum DAS Krueng Peusangan juga meminta kepada Mentri ATR/BPN, KLHK dan pemerintah daerah untuk tidak menetapkan kawasan tersebut menjadi lahan kombatan GAM.
Masih banyak lahan-lahan lainnya di Aceh yang terlantar yang bukan kawasan satwa dapat diberikan kepada mantan kombatan GAM.
"Kasian mantan kombatan GAM yang hidup tidak menentu sekarang ditambah lagi beban berat untuk bertarung dengan satwa. Kalau mau memberdayakan masyarakat yang ikhlaslah," ungkap aktivis lingkungan di Aceh ini.
Sebut Suhaimi Hamid adapun lahan-lahan terlantar menurut pengamatan kami masih sangat luas di Aceh. Yaitu lahan-lahan perkebunan sawit diluar izin yg ditetapkan.
Lahan perkebunan sawit yang tidak ada izin, lahan HGU yang izinnya sdh mati dan lahan-lahan HGU yang tidak digarap oleh pemilik izin. "Itu menurut aturan adalah lahan terlantar, dan itu sangat luas di Aceh, ada di Pijay, Bireuen, Aceh Utara juga ada di Aceh Timur. Silakan itu dialihkan menjadi lahan mantan kombatan,"sebut Suhaimi Hamid.
Begitu juga Pemerintah kata Suhaimi , kalau serius melestarikan hutan di Aceh sebagai sumber ekonomi dan ekologi dimasa depan, maka harus berani melakukan penegakan hukum dan melakulan pendataan lahan yag sesuai dgn izin-izin yang telah diberikan, bukan dgn cara menganggu habitat satwa.
Konflik Satwa Dengan Manusia Semakin Meningkat
Disisi lain, aktivis lingkungan di Aceh juga menyebutkan Interaksi Negatif (Konflik satwa ) antar satwa dengan manusia di Aceh menjadi bencana ekologi terbaru yang belum ada penanganannya secara permanen.
Suhaimi menyebutkan konflik tersebut semakin hari semakin meningkat konfliknya, sehingga jatuh korban dari manusia dan satwa.
Terutama gajah, baru- baru ini kita mendengar gajah mati di karang Ampar Aceh tengah akibat tersengat arus listrik yang dipasang oleh petani dikebunnya, yang selang beberapa bulan sebelumnya kita juga mendengar mati gajah di Aceh Timur akibat diracun
"Konflik satwa tersebut terjadi disemua daerah, akibat laju deforestasi terhadap peralihan fungsi lahan dan hutan meningkat, sehingga kawasan yang dulunya kawasan habitat satwa telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit," ungkapnya
Begitu juga Perusahan-perusahaan perkebunan memagari kebun-kebun mereka dengan penggalian paret, sehingga awalnya kawasan tersebut adalah jalur satwa sudah terganggu dengan paret-paret perkebunan, sehingga beralihlah satwa ke jalur dalam kawasan perkebunan masyarakat dan permukiman penduduk. (Fajri Bugak)