Selasa, 01 Juli 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Keuchik Gugat Masa Jabatan, DPR dan Pemerintah Tegaskan Kekhususan Aceh

Keuchik Gugat Masa Jabatan, DPR dan Pemerintah Tegaskan Kekhususan Aceh

Senin, 30 Juni 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, mewakili Pemerintah menyampaikan keterangannya terkait status kekhususan dan keistimewaan Aceh. [Foto: Humas MK/Panji]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Senin (30/6/2025), di Gedung MK, Jakarta. Sidang dengan nomor perkara 40/PUU-XXIII/2025 itu menguji konstitusionalitas Pasal 115 ayat (3) yang mengatur masa jabatan keuchik (kepala desa) di Aceh selama enam tahun dan hanya bisa dipilih kembali satu kali.

Permohonan ini diajukan oleh lima keuchik dari Aceh yang menilai ketentuan tersebut telah merugikan hak konstitusional mereka. Dalam permohonannya, para keuchik membandingkan aturan dalam UU Pemerintahan Aceh dengan UU Desa yang sudah diamendemen lewat UU Nomor 3 Tahun 2024. Dalam UU Desa yang baru, masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan.

Pemerintah dan DPR Angkat Bicara

Dalam sidang yang beragenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden (Pemerintah), kedua pihak menegaskan bahwa perbedaan masa jabatan kepala desa di Aceh adalah bentuk penghormatan terhadap kekhususan Aceh.

“Tidak ada norma dalam UU Desa yang secara eksplisit menyatakan berlaku juga bagi keuchik di Aceh,” kata Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudiarta di hadapan majelis hakim MK.

Menurut Wayan, UU Pemerintahan Aceh merupakan lex specialis yang memiliki kekuatan mengesampingkan ketentuan umum dalam UU Desa. Ia menambahkan bahwa DPR telah mempertimbangkan kekhususan Aceh sejak awal proses legislasi.

Hal senada disampaikan pemerintah melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik. Ia menyebut UU Pemerintahan Aceh lahir dari pengakuan atas sejarah perjuangan dan identitas masyarakat Aceh.

“Ini bukan diskriminasi, melainkan bentuk nyata dari Bhinneka Tunggal Ika. Justru Pasal 115 memberi kepastian hukum karena berlaku sesuai dengan karakter dan kebutuhan lokal Aceh,” ujar Akmal.

Aceh Punya Kewenangan Sendiri

Wakil Ketua DPR Aceh, Ali Basrah, juga hadir dalam persidangan dan menegaskan bahwa Aceh memiliki kewenangan khusus berdasarkan UUD 1945.

“Selama tidak ada perubahan melalui mekanisme resmi, maka Pasal 115 UU Nomor 11 Tahun 2006 tetap sah dan mengikat,” katanya.

Ali juga mengingatkan pentingnya menghormati asas lex specialis derogat legi generali, di mana aturan khusus mengesampingkan aturan umum.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Muhammad Junaidi, mengatakan bahwa Pemerintah Aceh bahkan telah mengusulkan revisi UU Pemerintahan Aceh ke DPR. Namun, selama belum ada revisi dan MK belum memutuskan, maka ketentuan lama tetap berlaku.

“Tidak ada yang bertentangan secara konstitusional. Pasal 115 justru lahir dari amanat Pasal 18B UUD 1945 tentang pengakuan terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus,” ujarnya.

Permohonan Para Keuchik

Di sisi lain, kuasa hukum para pemohon, Febby Dewiyan Yayan, menyatakan bahwa kliennya telah kehilangan hak konstitusional akibat berlakunya Pasal 115 ayat (3) tersebut.

“UU Desa yang sudah diubah berlaku secara nasional, termasuk untuk Aceh. Tapi implementasinya di Aceh terganjal oleh pasal ini,” kata Febby dalam sidang perdana yang digelar pada April lalu.

Febby menyebut, baik DPR Aceh maupun Pemerintah Aceh sebenarnya sudah menyatakan tidak keberatan terhadap pemberlakuan UU Desa di Aceh. Namun, karena Pasal 115 belum dicabut atau diubah, maka perbedaan tetap terjadi.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 115 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945, setidaknya sepanjang tidak dimaknai bahwa masa jabatan keuchik adalah delapan tahun dan dapat dipilih kembali satu kali. [*]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI