Jum`at, 26 September 2025
Beranda / Politik dan Hukum / GeRAK Aceh Desak Kapolda Tuntaskan Rantai Bisnis Tambang Emas Ilegal

GeRAK Aceh Desak Kapolda Tuntaskan Rantai Bisnis Tambang Emas Ilegal

Jum`at, 26 September 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai hasil laporan Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengenai aktivitas tambang ilegal harus dijadikan momentum penting untuk menuntaskan persoalan pertambangan emas tanpa izin (PETI) di seluruh wilayah Aceh.

Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, menegaskan bahwa masalah PETI bukanlah persoalan baru. Fenomena tambang ilegal sudah berlangsung lebih dari satu dekade dan meninggalkan dampak kerusakan lingkungan yang masif.

“Semua pihak tahu persoalan PETI ini sudah lama terjadi. Kita bisa lihat, kerusakan hutan, sungai yang tercemar, hingga lubang-lubang tambang yang membahayakan keselamatan masyarakat. Bahkan sudah banyak nyawa penambang yang menjadi korban. Lebih parah lagi, diduga ada pencemaran akibat penggunaan merkuri dan sianida dalam proses pemurnian emas,” ungkap Fernan kepada media dialeksis.com, Jumat (26/9/2025).

Lebih jauh, GeRAK juga menyoroti pernyataan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, yang berkomitmen menertibkan tambang emas ilegal dalam waktu dua minggu ke depan. Bagi GeRAK, pernyataan ini harus dibuktikan dengan tindakan nyata dari aparat penegak hukum.

“Karena ini soal penegakan hukum, kita tunggu komitmen dari Kapolda Aceh. Jangan lagi ada tebang pilih. Selama ini, kasus tambang ilegal lebih sering menyasar pekerja lapangan, sementara cukong yang menjadi aktor utama justru dibiarkan. Faktanya, sampai hari ini, masih banyak tambang ilegal yang beroperasi di kawasan hutan,” tegas Fernan.

Fernan mengingatkan, momentum ini harus disikapi serius oleh semua pihak. Ia optimis bahwa dengan komitmen yang kuat, praktik tambang ilegal bisa diberantas.

Namun ia menekankan bahwa aparat penegak hukum (APH) harus berani mengusut tuntas jaringan cukong di balik aktivitas tersebut.

“Kami yakin Kapolda sudah mengantongi informasi terkait rantai bisnis tambang ilegal di lapangan. Praktek ini tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada ‘setoran gelap’. Apalagi ada temuan yang menyebut setoran mencapai Rp300 miliar per bulan. Publik tentu bertanya-tanya, uang sebesar itu mengalir kemana?” ujarnya.

Fernan menambahkan, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari rantai pasokan bahan berbahaya beracun (B3) yang masuk ke Aceh.

Menurutnya, perlu ada penyelidikan mendalam terhadap pihak-pihak yang diduga menjadi pemasok utama bahan kimia tersebut.

Fernan juga mengingatkan bahwa kerugian negara akibat tambang ilegal jauh lebih besar dari sekadar setoran. Pada 2016, GeRAK pernah melaporkan kasus tambang ilegal di salah satu aliran sungai kepada aparat di Jakarta.

Saat itu, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp500 miliar per tahun, dengan valuasi harga emas Rp400 ribu per gram.

“Sekarang harga emas sudah menyentuh Rp2 juta per gram. Bayangkan kerugian negara dari tambang ilegal di 450 titik di Aceh. Angka itu sangat fantastis,” jelasnya.

Meski demikian, Fernan juga mengingatkan agar penegakan hukum tidak hanya diarahkan untuk melanggengkan perusahaan besar menguasai sumber daya emas di Aceh.

Menurutnya, aspek sosial dan ekonomi masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup pada tambang tradisional juga harus diperhatikan.

“Kita harus jujur, ada masyarakat yang memang menggantungkan hidup pada tambang tradisional. Mereka menambang dengan cara sederhana, bukan dengan excavator, apalagi menggunakan bahan kimia berbahaya. Regulasi sebenarnya mengakui adanya pertambangan rakyat. Jadi tugas ke depan adalah bagaimana menyiapkan skema yang jelas untuk masyarakat agar bisa tetap menambang secara legal dan aman,” pungkas Fernan. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid