kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Dugaan Penggelembungan Suara DPR RI Dapil 1 Aceh, Ini Tanggapan Mantan Komisioner Panwaslih Aceh

Dugaan Penggelembungan Suara DPR RI Dapil 1 Aceh, Ini Tanggapan Mantan Komisioner Panwaslih Aceh

Minggu, 17 Maret 2024 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mantan Komisioner Panwaslih Aceh, Nyak Arief Fadhillah Syah. Foto: Humas Panwaslih Aceh


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh mengunjungi Kantor Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh, Rabu (13/3/2024) pekan lalu. 

Kunjungan ini untuk melaporkan dugaan penggelembungan suara yang melibatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR Ri) di Dapil 1 Aceh.

Rafly Kande, seorang calon legislatif dari PKS, dengan tegas menyampaikan kepada media bahwa pihaknya membawa bukti konkret berupa data penggelembungan suara sebanyak 23.172 suara tersebar di lima kabupaten. 

Dugaan ini terutama terfokus pada kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Subulussalam, Simeulue, dan Kota Banda Aceh. Analisis data yang dilakukan oleh PKS menunjukkan perbedaan yang signifkan antara hasil rekapitulasi suara, memunculkan kecurigaan terhadap integritas proses pemilu.

Dalam mendalami kasus ini, Dialeksis.com menghubungi Mantan Komisioner Panwaslih Aceh, Nyak Arief Fadhillah Syahyang mengungkapkan bahwa salah satu laporan dugaan pelanggaran pemilu itu disampaikan oleh Partai PKS terjadi di Dapil 1 Aceh dan saat ini sedang berproses dalam alur penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi sesuai Perbawaslu 7 tahun 2022 di Panwaslih Aceh.

Menurut penjelasan Nyak Arief Fadhillah laporan terkait dengan dugaan adanya penggelembungan suara yang terjadi dan diperkuat dengan fakta adanya sejumlah perbedaan data c hasil dan data d hasil di beberapa kabupaten yang tersebut di atas.

Atas dasar itu Nyak Arif  memunculkan tanda tanya apakah mungkin Panwaslih Aceh memutuskan kasus ini hingga hak keadilan dan konstitutif peserta pemilu dapat terpenuhi, sementara proses rekap tingkat nasional akan ditetapkan tanggal 25 Maret 2024 ini. 

Nyak Arief juga mengatakan untuk memenuhi suatu laporan dapat ditindaklanjuti harus memenuhi syarat formal materielnya. Dari aspek tempus atau waktu suatu laporan dilaporkan kepada Bawaslu, yang menjadi fokusnya adalah kapan sebenarnya pelapor mengetahui peristiwa dugaan pelanggaran tersebut. 

"Jika ia baru mengetahui saat rekapitulasi tingkat Provinsi dan segera melaporkannya kepada Panwaslih Aceh atas berbagai peristiwa dugaan pelanggaran yang terjadi ditingkat kabupaten atau pun tingkat kecamatan, maka secara norma laporan yang diketahui dan dilaporkan tidak melebihi 7 hari sejak diketahui, tempusnya terpenuhi untuk ditindaklanjuti," jelasnya.

Ia melanjutkan lalu apabila aspek formal materilnya lainnya juga terpenuhi, seperti pelapor dan terlapor adalah mereka yang dikategori sebagai pihak yang ditentukan oleh ketentuan dapat melaporkan atau dilaporkan, dilengkapi dengan bukti-bukti yang cukup dan minimal 2 saksi, maka laporan diregister dan diproses sesuai dengan mekanismenya. Hal itu berarti Bawaslu sudah on the track, sesuai dengan ketentuan Peraturan Bawaslu Nomor 7 dan Nomor 8 tahun 2002.

Dalam konteks ini hal yang sangat penting bagi semua pihak yaitu memahami ketentuan bagaimana suatu laporan dapat ditindaklanjut dan berproses sesuai dengan ketentuan yang ada. Oleh karena itu “jangan pernah membiarkan suatu dugaan pelanggaran pemilu tidak dilaporkan melebihi waktu 7 hari sejak anda mengetahui dugaan pelanggaran tersebut”, pungkasnya.

Saat ini yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat adalah ikut memantau atau mengawai proses penanganan yang sedang bergulir di Bawaslu. Kita berharap semua pihak menaati aturan dan melewati proses sesuai dengan hukum yang ada. 

Ketika disinggung muara akhir laporan, Nyak Arief menjelaskan sangat tergantung bagaimana pelapor membuktikan apa yang yang disangkakan dan meyakinkan majelis hakim Bawaslu terhadap bukti-bukti. Bukti yang kuat dan mampu meyakinkan majelis adjudikasi sangat menentukan pertimbangan hukum majelis untuk mengabulkan atau menolak permohonan pemohon”. 

Nyak Arief melanjutkan bahwa sekarang ini kita hanya bisa memberi gambaran yang normatif saja. Apapun itu, fakta-fakta peristiwa hukum dugaan atau bukan suatu pelanggaran biasanya terungkap dalam persidangan. Begitupun bukti-bukti, bahkan menjadi sisi sidang tersendiri, yaitu sidang pembuktian. Semua menjadi pertimbagan hukum majelis termasuk jawaban terlapor, bukti-bukti yang disampaikan dan saksi yang dihadirkan untuk memutuskan suatu keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.  

“Jadi kita berharap dan mendorong agar Bawaslu melaksanaka tugas dan fungsinya dengan baik dan adil sebagai adjudikator," ungkapnya.

Dari pengalaman Nyak Arief sebagai komisioner Panwaslih Aceh, menurutnya biasanya majelis dalam membuat Keputusan sangat memperhatikan data-data bukti baik dari pelapor dan terlapor, lalu sangat hati-hati dalam analisis pertimbangan hukumnya, termasuk dari aspek yuridiksi apakah menjadi kewenangannya dalam memutuskan perkara yang dilaporkan itu. 

"Apalagi dalam kasus ini tentu majelis adjudikasi Panwaslih sangat berhati-hati, jangan sampai mereka menyelesaikan dan memutuskan persoalan perselisihan hasil pemilu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

“Sekilas kasus ini tampak terkait perdebatan data perolehan angka-angka, namun nanti akan tampak dalam penggunaan pasal-pasal yang yang didalilkan oleh pelapor dan terlapor dan sudah tentu pertimbangan hukum majelis menjadi begitu penting, termasuk juga mempertimbangkan bahwa suatu Keputusan harus juga bisa dilaksanakan oleh KIP Aceh dan ada kerangka hukum pelaksanaannya, bukan hanya sekedar dasar ada amar Keputusan Bawaslu," tegasnya lagi.  

Apapun Keputusan majelis nantinya, jika tidak memuaskan pelapor dan terlapor dapat mengajukan pemohonan koreksi kepada Bawaslu RI terhadap laporan yang ditangani oleh Panwaslih Aceh, demikian tutup Nyak Arief.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda