DIALEKSIS.COM | Aceh Barat - Bupati Aceh Barat Tarmizi menemukan adanya oknum ASN yang bertugas di dua instansi pemerintah setempat, diduga belum menyetorkan uang infak ke kas daerah sebanyak Rp 1,5 miliar.
Menanggapi hal itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra, mendesak aparat penegak hukum (APH) agar segera turun tangan mengusut dugaan penyelewengan dana infak tersebut.
“Jika tidak ditindaklanjuti, bukan tidak mungkin ada niat penggelapan. Uang infak sebesar Rp1,5 miliar yang dikumpulkan dari pegawai belum juga masuk ke kas daerah,” ujar Edy kepada Dialeksis.com, Minggu (4/5/2025).
Menurut Edy, oknum ASN yang menjabat sebagai bendahara pada salah satu dinas di lingkungan Pemkab Aceh Barat itu berdalih belum bisa menyetor dana infak karena terkendala sistem aplikasi keuangan. Namun, ia menilai alasan tersebut patut dicurigai sebagai bentuk alibi untuk menyelamatkan diri setelah aksinya terendus oleh kepala daerah.
“Motif di balik penyimpanan dana sebesar itu harus diungkap. Apalagi yang bersangkutan memegang posisi strategis,” tegasnya.
Edy juga membandingkan kasus ini dengan dugaan korupsi penerimaan pajak daerah yang terjadi pada Januari 2023 lalu, di mana seorang bendahara di BPKD Aceh Barat terbukti tidak menyetorkan pajak daerah sejak November hingga Desember 2022.
“Modusnya hampir serupa, yakni dana penerimaan negara atau daerah tidak disetorkan. Dalam konteks ini, dugaan korupsi sudah jelas,” katanya.
Ia menegaskan bahwa tindakan seperti ini termasuk dalam delik pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya tercantum berbagai bentuk korupsi seperti penggelapan, suap, gratifikasi, dan perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.
“Dugaan penggelapan dana infak ini sudah masuk dalam kategori korupsi. Maka tidak boleh ada pembiaran,” pungkas Edy.
Ia menegaskan bahwa penegak hukum harus segera bertindak untuk mencegah potensi kerugian lebih besar bagi daerah dan demi menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan.