DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemerintah Aceh menunjukkan komitmen kuat dalam menata sektor pertambangan yang selama ini diwarnai praktik ilegal. Di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf (Mualem), langkah-langkah strategis mulai diambil secara terukur dan sistematis.
Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh M. Nasir, S.IP., MPA., saat dihubungi Dialeksis, menjelaskan bahwa keseriusan Pemerintah Aceh tercermin melalui terbitnya dua kebijakan penting, yaitu Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Nonperizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam, serta Keputusan Gubernur Aceh Nomor 0007/1144/2025 tentang Pembentukan Tim Penertiban Tambang Ilegal di Aceh.
“Kedua kebijakan ini menjadi tonggak baru dalam arah tata kelola sumber daya alam Aceh,” ujar Nasir. “Instruksi Gubernur mengamanatkan seluruh bupati dan wali kota melakukan evaluasi terhadap kegiatan pertambangan tanpa izin dan menertibkan penggunaan alat berat di kawasan hutan. Sementara keputusan Gubernur membentuk tim terpadu yang melibatkan unsur pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga teknis agar pelaksanaannya berjalan tegas namun tetap terukur.”
Menurut Nasir, langkah penertiban ini bukan dimaksudkan untuk menutup sumber ekonomi masyarakat, melainkan menata agar aktivitas tambang berlangsung tertib, ramah lingkungan, dan aman bagi publik.
“Kita tidak sedang menutup peluang ekonomi masyarakat, tetapi memastikan aktivitas tambang berjalan sesuai aturan dan tidak merusak lingkungan,” tegasnya, Jumat (17/10/2025).
Ia menambahkan, penanganan tambang ilegal bukan semata persoalan hukum, melainkan bagian dari strategi pembangunan ekonomi Aceh yang berkelanjutan. Arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya penyelamatan sumber daya alam menjadi pijakan moral sekaligus politik bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat.
“Instruksi Presiden itu menjadi momentum bagi Aceh untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Kita ingin memastikan kekayaan alam ini dikelola secara sah, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi rakyat,” jelas Nasir.
Lebih lanjut, tim penertiban tambang ilegal akan bekerja dengan pendekatan kolaboratif, bukan konfrontatif. Pemerintah membuka ruang bagi para pelaku tambang rakyat untuk bertransformasi menjadi kegiatan legal melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), disertai pendampingan teknis oleh Dinas ESDM Aceh.
“Pendekatan kita tidak represif, tetapi solutif. Masyarakat tetap bisa bekerja, namun dengan aturan yang jelas dan berwawasan lingkungan,” tambahnya.
Sejumlah pengamat menilai, langkah ini mencerminkan perubahan paradigma penting dalam pengelolaan sumber daya alam dari sekadar penegakan hukum menuju tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan dan kesejahteraan. Dengan kombinasi pengawasan, edukasi, dan regulasi yang tepat, Aceh kini memulai babak baru dalam pengelolaan pertambangan yang lebih tertib, transparan, dan berkeadilan.
“Ini bukan semata persoalan tambang ilegal, tetapi tentang bagaimana kita mewariskan alam yang lebih baik kepada generasi berikutnya,” tutup Sekda Aceh.[arn]