Jum`at, 12 Desember 2025
Beranda / Pemerintahan / Sawah Tertimbun Lumpur, Kebun Terputus: Potret Kerusakan Pertanian Aceh Pasca Banjir Bandang

Sawah Tertimbun Lumpur, Kebun Terputus: Potret Kerusakan Pertanian Aceh Pasca Banjir Bandang

Kamis, 11 Desember 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

 Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir. Cut Huzaimah, MP. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Banjir bandang dan longsor yang menerjang sejumlah kabupaten di Aceh menyisakan kerusakan besar pada jantung ekonomi pedesaan: sektor pertanian dan perkebunan. Di beberapa lokasi, sawah yang semula menjadi lumbung pangan warga kini berubah menjadi hamparan lumpur setebal dada orang dewasa. Jaringan irigasi banyak yang putus, akses produksi tertimbun material, dan ribuan keluarga petani tidak lagi memiliki kepastian kapan bisa kembali mengolah tanah mereka.

Inventarisasi lapangan yang disusun Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh memperlihatkan skala kerusakan yang nyaris tidak pernah terjadi dalam satu dekade terakhir. Total luas lahan padi yang terdampak mencapai lebih dari 89 ribu hektare. Dari jumlah itu, sekitar 62 ribu hektare masih mungkin dipulihkan, sementara lebih dari 27 ribu hektare dinyatakan tidak dapat ditanami dalam waktu dekat. Dengan asumsi kerugian Rp13 juta per hektare, nilai kerusakan untuk sektor padi saja ditaksir menembus Rp1,16 triliun.

Aceh Utara menjadi wilayah dengan dampak terberat. Lebih dari 39 ribu hektare sawah di kabupaten ini terdampak langsung banjir bandang. Bireuen menyusul di belakangnya, dengan kerusakan pada sekitar 15 ribu hektare sawah. Aceh Timur kehilangan hampir seluruh sawah di sejumlah kecamatan, sementara Aceh Tamiang, Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah juga mencatatkan tingkat kerusakan signifikan. Laporan dinas memperlihatkan wilayah-wilayah tersebut tidak hanya kehilangan tanaman, tetapi juga fondasi produksi mulai dari pintu air irigasi hingga jalan usaha tani.

Kerusakan tidak berhenti pada lahan padi. Sektor hortikultura, jagung, dan perkebunan juga mengalami pukulan berat. Sedikitnya 767 hektare lahan jagung terdampak, 952 hektare tanaman hortikultura roboh atau rusak akibat kubangan lumpur, dan lebih dari 13 ribu hektare perkebunan tercatat mengalami kerusakan. Secara keseluruhan, lebih dari 14.700 kebun yang terdiri dari komoditas jagung, hortikultura, dan perkebunan ikut terdampak. Beberapa sentra tanaman unggulan seperti cabai, bawang merah, kakao, kopi, dan kelapa sawit ikut tersapu aliran banjir.

Di tengah kondisi itu, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir. Cut Huzaimah, MP, menggambarkan situasi lapangan sebagai “kerusakan berlapis” kerusakan yang tidak hanya menghancurkan tanaman, tetapi juga sistem penyangga produksi. Ia menyebut banyak sawah tertimbun lumpur setinggi satu hingga satu setengah meter. Jika lapisan lumpur itu tidak segera diangkat, kata Cut Huzaimah, ancaman gagal tanam tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga dalam beberapa musim ke depan. 

“Banjir ini tidak hanya merusak tanaman. Ia mengubah struktur tanah, menutup saluran air, dan memutus seluruh ekosistem produksi,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, 10 Desember 2025. 

Cut Huzaimah menilai pemulihan irigasi menjadi pekerjaan paling mendesak. Banyak saluran dan pintu air yang tersumbat material, bahkan roboh akibat derasnya arus. Perbaikan jaringan irigasi, menurutnya, akan menentukan seberapa cepat petani dapat kembali menanam. Selain itu, penyediaan benih, pupuk, dan alat mekanis pembersih lahan menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunggu lama. 

“Setelah lumpur disingkirkan, kita masih perlu memulihkan kesuburan tanah. Tanah yang tertutup sedimen tebal tidak langsung bisa ditanami tanpa analisis dan penanganan,” katanya.

Untuk perkebunan dan hortikultura, ia menekankan perlunya pasokan bibit pengganti dan pemulihan jalan produksi. Banyak kebun yang tidak dapat diakses akibat longsor memutus badan jalan. Komoditas seperti kopi, kakao, dan kelapa sawit di beberapa titik perlu dilakukan peremajaan dini karena banyak tanaman yang rusak di bagian akar.

Pada tahap tanggap darurat, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh bergerak melakukan pendataan cepat dan mengoordinasikan bantuan sosial. Pendataan itu menjadi basis lobi ke Kementerian Pertanian dan lembaga lain yang berpotensi memberikan dukungan. 

Hasil kontak itu, menurut Cut Huzaimah, menghasilkan alokasi bantuan sebesar Rp75,6 miliar dari pemerintah pusat untuk wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam bentuk bantuan pangan dan dukungan darurat lainnya. Meski begitu, ia menegaskan bahwa skala kerusakan di Aceh memerlukan program pemulihan yang lebih sistematis dan jangka panjang.

“Ini bukan sekadar memberikan benih dan pupuk. Yang rusak bukan hanya tanaman, tetapi sistem produksi. Kita harus memulihkan jaringan irigasi, akses jalan, pasar, dan modal kerja masyarakat,” kata Cut Huzaimah. Menurutnya, pemulihan mata pencaharian petani menjadi fokus yang harus disiapkan dengan dukungan lintas lembaga. Jika itu tidak dilakukan, risiko kemiskinan baru di wilayah terdampak akan semakin besar.

Data kerusakan yang kini dipegang pemerintah menjadi landasan menyusun prioritas intervensi. Kabupaten dengan tingkat kerusakan tertinggi akan mendapat fokus pemulihan infrastruktur, pemulihan tanah, hingga pendampingan teknis berbasis komoditas. 

“Kita harus memastikan petani kembali ke sawah bukan hanya untuk menanam, tapi untuk kembali hidup dari tanah itu,” tutup optimis. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI