DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa pemulihan listrik di Aceh telah mencapai 97 persen, menuai kritik tajam dari warga dan pemangku kepentingan di daerah. Pasalnya, hingga Senin (8/12/2025) siang, banyak kawasan di Aceh masih gelap dan menjalani pemadaman bergilir.
Dalam kunjungan Presiden Prabowo ke Bireuen pada Minggu (7/12/2025), Bahlil menyampaikan bahwa “malam ini seluruh Aceh 97 persen sudah menyala”. Ucapan itu terekam jelas dalam video resmi yang beredar luas di publik.
Namun realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh berbeda. Warga di berbagai daerah, terutama di Banda Aceh, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara, mengaku listrik belum stabil. Sebagian bahkan masih padam total sejak bencana banjir dan longsor melanda kawasan tersebut.
Seorang warga Banda Aceh, Amirul, menegaskan bahwa hingga pagi tadi rumahnya masih gelap. “Bagaimana bisa bilang menyala semua? Kenyataannya kami masih hidup dalam gelap. Anak-anak sulit tidur, sementara aktivitas rumah tangga lumpuh,” katanya kepada Dialeksis.
Nada serupa disampaikan Hendra Vramenia, warga Aceh Tamiang, yang menyebut pernyataan Bahlil sebagai bentuk ketidakhadiran negara pada momen krusial. “Kami menunggu kepastian, bukan janji atau angka yang tidak sesuai. Warga di sini tahu persis mana yang benar dan mana yang hanya laporan manis,” ujarnya.
Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA secara resmi menyampaikan bahwa tingkat pemulihan listrik tidak mencapai angka seperti yang disebutkan Menteri ESDM. Menurut laporan terkini, suplai listrik di Aceh secara keseluruhan masih berada pada kisaran 60 - 70 persen. Untuk Banda Aceh, angka pemulihan baru berada di kisaran 35 - 40 persen, sementara kabupaten yang terdampak parah masih di bawah itu.
Pemerintah Aceh meminta kementerian dan PLN pusat menyajikan data teknis yang terukur dalam setiap pernyataan publik, mengingat kondisi masyarakat masih rentan dan penuh ketidakpastian.
Akademisi Universitas Syiah Kuala asal Aceh, Firdaus Mirza Nusuary, menilai pernyataan Bahlil bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan bentuk pembiaran terhadap disinformasi dalam situasi darurat. “Dalam bencana, akurasi data adalah pondasi kepercayaan publik. Bila seorang menteri menyampaikan angka yang tidak sesuai fakta lapangan, maka itu tidak hanya merusak kredibilitas kementerian, tetapi juga menyesatkan Presiden,” katanya.
Ia juga menilai Bahlil, sebagai pimpinan kementerian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, seharusnya memberikan contoh kepemimpinan yang berhati-hati, berbasis data, dan tidak terjebak dalam narasi pencitraan. “Masyarakat sedang menderita, bukan saatnya berimprovisasi angka.”
Berbagai kelompok masyarakat dan organisasi sipil meminta pemerintah pusat membuka data pemulihan per wilayah secara rinci. Mulai dari jumlah gardu yang rusak, panjang jaringan yang putus, hingga progres harian tim teknis di lapangan.
Warga juga berharap adanya koordinasi yang selaras antara Kementerian ESDM, PLN, dan Pemerintah Aceh agar tidak terjadi kontradiksi pernyataan yang justru memperburuk situasi psikologis korban bencana.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi tambahan dari Menteri Bahlil mengenai dasar angka 97 persen yang ia laporkan kepada Presiden. Publik berharap pemerintah pusat segera menghadirkan data yang akurat dan komunikasi yang bertanggung jawab, demi mengembalikan kepercayaan warga yang saat ini tengah berjuang menghadapi dampak berat bencana hidrometeorologi.