Senin, 10 Maret 2025
Beranda / Pemerintahan / Penerapan Pergub Aceh No. 15/2024 Diduga Merugikan Tenaga Kesehatan, Reaksi dari Safrizal IDI Aceh

Penerapan Pergub Aceh No. 15/2024 Diduga Merugikan Tenaga Kesehatan, Reaksi dari Safrizal IDI Aceh

Sabtu, 08 Maret 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

 Dr. dr. Safrizal Rahman, Sp.OT, M.Kes, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Aceh. Foto: doc Dialeksis.com/Naufal


DIALEKSIS.COM | Aceh - Penerapan Pergub Aceh No. 15 Tahun 2024 memicu kritik tajam dari kalangan tenaga kesehatan, terutama terkait kebijakan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan Jasa Pelayanan. Kebijakan ini dianggap tidak mencerminkan penghargaan yang layak atas dedikasi tenaga medis yang senantiasa siap mengabdi selama 24 jam non-stop. Kebijakan tersebut menyisakan kesan bahwa apresiasi terhadap profesionalisme dan kerja keras tenaga kesehatan belum diakomodasi secara optimal.

Dalam upaya memperoleh berbagai sudut pandang, Dialeksis sempat menghubungi Dr. dr. Safrizal Rahman, Sp.OT, M.Kes, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Aceh, untuk mendapatkan penjelasan mendalam mengenai perbedaan esensial antara “TPP” dan “Remunerasi.”

Dr. Safrizal menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar yang perlu dipahami oleh semua pihak. Menurutnya, TPP merupakan penghasilan tambahan yang diberikan kepada pegawai negeri sipil (PNS), calon PNS, dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), sedangkan Remunerasi merupakan imbalan atau balas jasa atas kontribusi serta kinerja tenaga medis dalam memberikan layanan. Penjelasan ini diharapkan dapat menajamkan pemahaman mengenai kedua istilah tersebut agar kebijakan yang diterapkan nantinya lebih tepat sasaran dan adil.

Lebih lanjut, Dr. Safrizal mengungkapkan keprihatinannya terkait adanya ketidakjelasan mekanisme pemberian TPP bagi tenaga kesehatan. Ia menyatakan bahwa IDI Aceh terus mengadakan diskusi dengan berbagai pihak untuk mencari solusi yang mengakomodir hak-hak para tenaga kesehatan secara utuh. “Kita memang masih terus melakukan diskusi-diskusi. Kalaupun misalnya aturan negara yang tidak memperbolehkan itu, maka barangkali ada pengaturan yang berbeda yang dapat dijadikan landasan, atau bisa diusulkan kebijakan yang berbeda dikeluarkan pemerintah,” ujarnya.

Komentar tersebut menggambarkan betapa pentingnya pemahaman mendalam dan pendekatan holistik dalam implementasi kebijakan di sektor kesehatan. Sikap terbuka untuk berdialog dengan berbagai pemangku kepentingan merupakan langkah strategis untuk menghasilkan kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mengakui dan menghargai peran vital tenaga kesehatan. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan sinergi antara pemerintah dan praktisi medis, sehingga kebijakan yang dihasilkan berlandaskan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama.

Dr. Safrizal juga menekankan pentingnya dialog konstruktif antara pemerintah dan tenaga kesehatan. Menurutnya, setiap hak yang berkaitan dengan kesejahteraan tenaga kesehatan sebaiknya didahului dengan konsultasi mendalam antara IDI Aceh dan PPNI Aceh untuk mendapatkan informasi yang utuh dan mewakili seluruh kepentingan.

“Selalu ketika ada hak nakes, IDI Aceh diminta pendapat, dan selalu didahului diskusi dengan PPNI Aceh,” jelasnya.

Dengan demikian menurut Safrizal, kebijakan yang kontroversial ini menjadi momentum penting bagi para pemangku kebijakan untuk lebih mendengarkan aspirasi tenaga kesehatan.

“Diharapkan, melalui dialog dan diskusi yang konstruktif, solusi yang dihasilkan nantinya dapat memajukan sistem kesehatan Aceh secara berkelanjutan dan harmonis, sekaligus memberikan penghargaan yang sepadan bagi setiap tenaga kesehatan yang telah mengabdi tanpa lelah,” pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers