DIALEKSIS.COM | Aceh - Dalam menghadapi ketidakpastian keberlanjutan dana otsus dan untuk mengukuhkan kemandirian fiskal Aceh, muncul wacana strategis yang menekankan pemisahan fungsi pengelolaan keuangan dan pendapatan daerah. Fakhruddin, S.E., M.S.E, Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala, menegaskan pentingnya pemisahan keuangan daerah dari pendapatan umum guna mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurutnya, langkah ini bersifat urgent untuk menciptakan kemandirian fiskal Aceh, terutama ditengah belum adanya kepastian mengenai keberlanjutan dana otsus Aceh. Padahal Aceh punya ketergantungan yang cukup besar terhadap keberlanjutan dana otsus Aceh. Jika kita tinjau kontribusi PAD terhadap pendapatan Aceh maka terlihat kontribusi tahun 2022 sekitar 21 persen dan pada tahun 2023 kontribusi PAD meningkat menjadi sekitar 28 persen, padahal PAD hanya naik sekitar Rp. 70 milyar saja.
Perlu dipahami kata Rudi sapaan akrab dirinya, bahwa kenaikan kontribusi PAD lebih disebabkan oleh penurunan pendapatan transfer dari pusat sekitar 3,1 T. Oleh sebab itu, diperlukan terobosan agar Aceh mampu mengenjot penerimaan daerah agar Aceh lebih mandiri. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan SKPA yang bertanggung jawab terhadap pendapatan daerah.
"Penguatan ini dapat dilakukan dengan pemisahan antara pengelola keuangan dan pengelola pendapatan Aceh. Selama ini kedua fungsi tersebut dilaksanakan oleh BPKA dan sudah terbukti kurang optimal dalam optimalisasi pendapatan daerah," ungkapnya.
“Tanpa pemisahan yang jelas antara keuangan dan pendapatan, rasanya sulit bagi Aceh untuk meningkatkan pendapatan daerah secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat," jelasnya.
Rudi memberikan contoh nyata, kendala dalam optimalisasi PAD adalah pajak kendaraan bermotor (PKB). Pada akhir tahun lalu BPKA menyatakan bahwa realisasi PKB hanya sektiar 40 persen dari sekitar 2,6 juta unit kendaraan (detik sumut/2 des 2024). Dari sisi terlihat jelas bahwa potensi penerimaan dari PKB yang sangat besar, dan hal ini didukung oleh ketersediaan data kendaraan.
"Namun disayangkan hal tersebut masih belum mampu membuat pemerintah Aceh dapat mengoptimalkan penerimaan PKB. Hal yang sama bisa saja terjadi pada pajak daerah lainnya atau sumber-sumber pendapatan daerah lainnya seperti retribusi, Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang Sah," lanjut jelasnya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Fakhruddin ahli ekonomi pembangunan ini menekankan perlunya pembentukan dinas pendapatan daerah berstatus eselon II untuk memperkuat kapasitas kelembagaan.
“Dinas pendapatan dengan pejabat eselon II memiliki kewenangan strategis untuk mengoordinasikan pemungutan seluruh penerimaan daerah (termasuk pajak), menemukan kendala dan Solusi optimalisasi pendapatan daerah. Ia menyebut, inisiatif ini perlu didorong dalam kepemimpinan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dan Wakil Gubernur, Fadhlullah.
Gubernur Mualem dan wagub Fadhlullah perlu menyadari bahwa kinerja mereka akan sangat ditentukan oleh kemampuan pendapatan daerah. Visi besar akan terhambat oleh ketiadaan pendapatan yang besar pula. Oleh sebab itu memberikan pengelolaan pendapatan daerah oleh sebuah badan setara dinas/badan merupakan Langkah penting untuk memuluskan rencana pembangunan Aceh yang telah dijanjikan selama kampanye di pilkada lalu. Jika mau membentuk badan atau dinas pendapatan daerah yang setara eselon II maka akan mempermudah koordinasi dengan dinas teknis penghasil PAD. Demikian juga koordinasi dengan Kepolisian dan Samsat yang selama ini menjadi mitra dalam pemungutan PKB.
Jika dinas/badan pendapatan daerah dapat didirikan makan Lembaga tersebut juga dapat lebih leluasa dalam melaksakan kegiatan pendukung seperti edukasi publik tentang pentingnya pajak sebagai sumber dana pembangunan daerah, manfaat kepatuhan membayar pajak dan penegakan hukum bagi pengemplang pajak.
“Pemerintah daerah perlu membangun kesadaran kolektif bahwa pajak adalah investasi masyarakat untuk kesejahteraan mereka sendiri. Di sisi lain, sanksi tegas harus diberlakukan agar tidak ada pihak yang merasa diistimewakan,” tegasnya.
Sebagai penutup, akademisi tersebut mengingatkan, optimalisasi PAD bukan hanya tentang penerimaan, tetapi juga kepercayaan publik.
“Masyarakat akan patuh membayar pajak jika yakin dananya digunakan tepat sasaran. Karena itu, pengelolaan pendapatan efektif, efisien dan transparan merupakan kunci untuk optimalisasi pendapatan daerah. hal ini dapat lebih mudah diwujudkan melalui melahirkan kembali Dinas Pendapatan daerah,” pungkasnya.