DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam diam, Aceh bergerak. Ketika banyak daerah masih berkutat dengan fragmentasi data dan tumpang tindih informasi birokrasi, Aceh justru menjadi rujukan nasional dalam tata kelola Satu Data. Tak tanggung-tanggung, sejumlah provinsi dari kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo datang langsung ke Banda Aceh untuk belajar.
Kegiatan bertajuk “Pelatihan dan Pembelajaran Satu Data” ini berlangsung sejak 10 hingga 14 Juni 2025. Diselenggarakan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Dalam Negeri (Pusdatin Kemendagri), dengan dukungan Program Kemitraan Australia - Indonesia SKALA, forum ini menjadikan Aceh sebagai model implementasi integrasi data lintas sektor dan lintas wilayah.
Aceh yang dahulu dikenal dengan konflik dan bencana, kini hadir sebagai pelopor integrasi teknologi informasi pemerintahan.
“Ini bukan sekadar kebanggaan simbolik, tapi pembuktian bahwa Aceh bisa menjadi pemimpin dalam tata kelola modern,” kata Muttaqin, dosen muda Fakultas Teknik Universitas Sains Cut Nyak Dhien kepada Dialeksis, Kamis, 3 Juli 2025.
Sebagai praktisi teknologi informasi, Muttaqin menilai capaian Aceh ini merupakan game changer dalam tata kelola pemerintahan daerah. Sistem Satu Data, menurutnya, adalah pondasi bagi birokrasi yang efisien, transparan, dan akuntabel.
Dengan sistem data yang terintegrasi, keputusan pemerintahan menjadi berbasis bukti, bukan asumsi. Anggaran lebih tepat sasaran, program tepat guna, dan potensi kebocoran fiskal dapat diminimalisir.
“Ini adalah kemenangan besar bagi efisiensi dan transparansi publik,” ujar Muttaqin.
Namun, pencapaian Aceh ini seharusnya tidak berhenti pada urusan data semata. Ia bisa dan harus menjadi inspirasi lintas sektor. Di bidang pertanian, integrasi data cuaca, lahan, dan harga pasar bisa menjadi fondasi pengambilan keputusan bagi petani. Di sektor pariwisata, platform digital berbasis data bisa menjadi jembatan promosi Aceh ke pasar global. Di industri kreatif, data bisa menjawab satu pertanyaan sederhana: potensi pasar kita sebenarnya ada di mana?
Muttaqin mengajak agar keberhasilan Aceh dalam Satu Data menjadi pemicu semangat baru sebuah arah pembangunan berbasis data, lintas sektor, dan berkelanjutan.
Di tengah pujian terhadap kemajuan ini, Muttaqin menyisipkan catatan penting. Fenomena brain drain atau mengalirnya talenta Aceh ke luar daerah dan luar negeri adalah ironi yang harus segera diatasi. Banyak anak muda Aceh yang pintar dan berpotensi justru enggan kembali ke tanah kelahiran karena minimnya dukungan ekosistem dan kurangnya perhatian.
“Kita sering dengar istilah ‘orang pintar diam’, karena ruang untuk tumbuh dan berkarya di Aceh masih belum optimal. Ini kerugian besar,” katanya.
Menurutnya, pemerintah daerah harus segera membangun ekosistem inovasi yang kondusif: memberikan ruang, apresiasi, dan fasilitas bagi para inovator. Akademisi, birokrasi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil perlu duduk satu meja, membentuk lanskap baru kolaborasi berbasis inovasi.
Ia menyerukan agar semangat membangun Aceh tak hanya digaungkan dalam forum-forum seremoni, melainkan dihidupkan dalam bentuk dukungan nyata terhadap gagasan-gagasan muda yang progresif.
Keberhasilan Aceh dalam pengelolaan Satu Data seakan menjadi penanda bahwa babak baru telah dimulai. Aceh tidak lagi hanya dibicarakan dalam konteks sejarah konflik atau bencana, melainkan dalam wacana pembangunan berbasis teknologi dan inovasi.
“Mari kita buktikan bahwa Aceh tidak hanya kaya budaya dan sejarah, tapi juga punya sumber daya manusia yang cerdas dan berdaya saing global,” ujar Muttaqin.
Ia mengajak generasi muda Aceh untuk tak ragu keluar dari zona nyaman. Menurutnya, masa depan Aceh bukan ditentukan oleh seberapa besar sumber daya yang dimiliki, tapi seberapa berani generasinya bermimpi dan bertindak.
“Teknologi itu hanya alat. Yang menentukan adalah manusianya. Jadi jangan takut berbeda. Jangan takut mencoba hal baru,” pesannya.
Dari Banda Aceh, sinyal perubahan itu mulai terpancar. Daerah yang dulu menjadi laboratorium konflik kini menjadi laboratorium data. Daerah yang dulu banyak belajar, kini mulai didatangi untuk diajari.
Dan jika semangat ini terus dirawat”dengan ekosistem yang inklusif, kolaborasi yang otentik, serta keberanian melampaui batasan lama bukan mustahil Aceh akan menjadi referensi nasional tidak hanya dalam satu sektor, tetapi dalam banyak hal.