Rabu, 08 Oktober 2025
Beranda / Pemerintahan / ESDM Aceh Dorong Pertambangan Rakyat Legal dan Berkelanjutan

ESDM Aceh Dorong Pertambangan Rakyat Legal dan Berkelanjutan

Rabu, 08 Oktober 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Said Faisal, ST, MT dalam kegiatan Kupie Mining Talk: Kupas Isu Terkini dan Dinamika Pertambangan di Aceh yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Aceh, Selasa (7/10/2025) di Banda Aceh. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Said Faisal, ST, MT, menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam membangun sektor pertambangan yang tertib, transparan, dan berkelanjutan di Aceh.

Hal itu ia sampaikan dalam kegiatan Kupie Mining Talk: Kupas Isu Terkini dan Dinamika Pertambangan di Aceh yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Aceh, pada Selasa (7/10/2025) di Banda Aceh.

Dalam paparannya, Said Faisal mengakui bahwa pengelolaan sektor pertambangan di Aceh masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait kewenangan, tata kelola, dan pengawasan terhadap tambang rakyat serta aktivitas ilegal.

Namun, ESDM Aceh tetap berkomitmen memperkuat sistem perizinan dan mendorong kehadiran Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai solusi konkret.

“Kita tidak bisa menutup mata bahwa aktivitas pertambangan rakyat terus berlangsung di lapangan. Karena itu, pendekatannya bukan hanya penertiban, tapi juga pemberdayaan melalui pembentukan WPR dan koperasi pertambangan,” ujar Said Faisal.

Menurutnya, Pemerintah Aceh tengah menyiapkan langkah-langkah untuk mempercepat penetapan WPR dan izin pertambangan rakyat (IPR). Dengan adanya legalitas ini, kegiatan tambang kecil dapat dipantau dan diatur agar tidak merusak lingkungan, sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.

“Dengan adanya WPR, kita harapkan masyarakat bisa bekerja dengan aman dan legal. Tapi tanggung jawab tetap ada--baik dari sisi lingkungan, teknis penambangan, maupun keselamatan kerja,” tambahnya.

Said Faisal menjelaskan, salah satu tantangan utama di sektor minerba Aceh adalah tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga teknis lain. Menurutnya, ESDM Aceh memiliki kewenangan terbatas untuk mengakumulasi seluruh data dan pengawasan aktivitas tambang.

“Secara jujur, kita di provinsi tidak bisa mengakumulasi semuanya karena sebagian masih menjadi kewenangan pusat. Tapi kami berupaya menjalankan tugas-tugas besar di level daerah, termasuk pembinaan, pemantauan, dan pengawasan izin,” katanya.

Ia menambahkan, setiap izin usaha pertambangan (IUP) yang diajukan ke pemerintah daerah harus melalui proses administratif dan teknis yang ketat.

Mulai dari rekomendasi pemerintah gampong dan kabupaten/kota, verifikasi teknis lapangan oleh ESDM, hingga pertimbangan dari instansi lingkungan dan kehutanan bila lokasi tambang berada di kawasan hutan.

“Kami hanya bisa memberikan rekomendasi teknis setelah melihat kondisi lapangan. Kalau semua syarat sudah terpenuhi, termasuk izin lingkungan dan kehutanan, baru bisa diproses di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP),” ujarnya.

Selain perizinan, ESDM Aceh juga terus memperkuat sistem pengawasan terhadap realisasi investasi dan komitmen perusahaan tambang.

Setiap pemegang izin diwajibkan memenuhi komitmen teknis dan finansial, termasuk membangun fasilitas pendukung, menjaga keselamatan kerja, serta memastikan keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar tambang.

“Setiap perusahaan yang menjanjikan investasi harus kita pantau. Misalnya mereka mengajukan investasi Rp20 miliar, maka realisasi fisiknya akan kita cek setiap tiga bulan: apakah benar mereka membangun fasilitas, membeli alat berat, merekrut tenaga kerja lokal, dan sebagainya,” jelasnya.

Ia menegaskan, prinsip utama yang dipegang ESDM Aceh adalah kehatihatian dalam mengeluarkan izin dan menjamin kepastian hukum bagi investor, tanpa mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.

“Kami bukan lembaga yang bisa menolak izin tanpa dasar hukum yang jelas. Tapi kami juga tidak akan memberi izin jika tidak memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan. Semua harus seimbang--antara investasi dan keberlanjutan,” tutur Said Faisal.

Dalam forum yang juga dihadiri akademisi, mahasiswa, dan perwakilan perusahaan tambang itu, Said Faisal menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri dalam menciptakan tata kelola pertambangan yang lebih baik.

“Pertambangan Aceh punya potensi besar, tapi juga risiko besar. Karena itu, kita perlu membangun sistem yang saling mendukung antara regulasi, pengawasan, dan inovasi teknologi. Ini bukan hanya urusan izin, tapi masa depan ekonomi dan lingkungan Aceh,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI