Kamis, 03 Juli 2025
Beranda / Pemerintahan / PPPK Aceh Dua Tahun Tanpa TPP, Desak Kesetaraan

PPPK Aceh Dua Tahun Tanpa TPP, Desak Kesetaraan

Kamis, 03 Juli 2025 11:15 WIB

Font: Ukuran: - +


Ketua Forum Komunikasi ASN PPPK Pemerintah Aceh (FORKOM ASN PPPK), Ns. Zuhdi Abrar. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Aceh - Keresahan mengemuka di tubuh Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Aceh, khususnya dari kalangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Selama dua tahun terakhir, ribuan tenaga teknis dan tenaga kesehatan yang berstatus PPPK mengaku tidak pernah menerima Tunjangan Tambahan Penghasilan (TPP), sebuah hak dasar yang semestinya mereka terima layaknya rekan mereka sesama ASN dari jalur Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kondisi ini mencerminkan persoalan yang lebih dalam dari sekadar anggaran: ketimpangan dalam kebijakan dan diskriminasi struktural di tubuh birokrasi.

Menurut data terbaru, jumlah ASN PPPK di Aceh tercatat sebanyak 8.805 orang, yang terdiri dari 6.560 guru, 1.682 tenaga kesehatan, dan 563 tenaga teknis. Namun ironisnya, pemerintah daerah dalam berbagai pernyataan publik kerap menyebut angka PPPK di Aceh mencapai lebih dari 20 ribu orang selisih yang cukup besar dan berpotensi menyesatkan persepsi publik.

Di balik angka itu, ada kenyataan pahit yang dihadapi sebagian besar tenaga teknis dan kesehatan: mereka belum pernah menerima TPP sejak pertama kali diangkat.

Berbeda dengan guru PPPK yang sebagian besar telah menerima tunjangan profesi guru (TPG) sebagai bentuk penghargaan atas kualifikasi dan kinerjanya, para tenaga kesehatan dan teknis justru menghadapi stagnasi tunjangan meski mereka juga mengemban tanggung jawab strategis dalam pelayanan publik.

Ketua Forum Komunikasi ASN PPPK Pemerintah Aceh (FORKOM ASN PPPK), Ns. Zuhdi Abrar, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas ketimpangan ini. Ia menegaskan bahwa baik PNS maupun PPPK adalah ASN sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang setara.

“Kami menaruh harapan besar kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), dan Wakil Gubernur Fadhlullah (Dek Fadh), untuk mengakhiri ketidakadilan ini. Jangan biarkan diskriminasi berlarut terhadap sesama aparatur negara,” ujar Zuhdi.

Ia menilai kebijakan yang abai terhadap TPP PPPK mencederai prinsip dasar pelayanan birokrasi yang inklusif dan responsif.

FORKOM ASN PPPK menegaskan bahwa ketidakadilan ini tidak memiliki dasar hukum. Sebaliknya, justru ada regulasi yang secara eksplisit mewajibkan kesetaraan pemberian TPP.

Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2024 menegaskan bahwa pemberian TPP dilakukan berdasarkan kelas jabatan, tanpa membedakan status kepegawaian antara PNS dan PPPK.

Namun dalam praktiknya, Pemerintah Aceh justru membuat pengaturan yang membuka celah perlakuan berbeda melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 15 Tahun 2024 tentang TPP. Dalam Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang TPP bagi PPPK akan diatur melalui Keputusan Gubernur. Hingga kini, keputusan tersebut tak kunjung hadir ” dan hak ribuan ASN PPPK pun mengambang.

“Ini bukan lagi soal birokrasi, tapi menyangkut keadilan konstitusional,” ujar Zuhdi.

Menyikapi situasi yang dianggap stagnan dan diskriminatif ini, FORKOM ASN PPPK menyampaikan empat tuntutan kepada Pemerintah Aceh:

Meluruskan data jumlah ASN PPPK secara terbuka dan akurat, agar tidak menimbulkan kebingungan publik.

Mengalokasikan anggaran TPP secara adil, sesuai prinsip nondiskriminasi dalam Permendagri dan UU ASN.

Menghapus dikotomi perlakuan antara PNS dan PPPK dalam lingkungan kerja dan kebijakan kesejahteraan.

Merevisi Pergub Aceh Nomor 15 Tahun 2024, khususnya Pasal 9 ayat (4), agar hak PPPK dijamin secara tegas tanpa bergantung pada keputusan teknis yang tidak kunjung terbit.

Desakan dari kalangan ASN PPPK ini menyoroti satu masalah klasik dalam birokrasi Indonesia: dualisme perlakuan terhadap sesama aparatur negara. UU ASN telah menghapus dikotomi antara PNS dan PPPK sebagai dua entitas yang berbeda kelas. Keduanya adalah ASN yang sama-sama disumpah, mengemban tanggung jawab publik, dan terikat dengan etika pelayanan negara.

Namun ketika kebijakan daerah ” termasuk peraturan gubernur ” justru memperkuat perbedaan itu, maka bukan hanya hak yang dirugikan, tapi juga integritas sistem pemerintahan.

Dalam semangat reformasi birokrasi dan penguatan pelayanan publik, Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Mualem“Dek Fadh dituntut untuk menunjukkan komitmen yang konkret terhadap kesetaraan ASN.

Mengabaikan hak PPPK selama dua tahun bukan sekadar kesalahan administratif, tapi telah menjelma menjadi krisis kepercayaan dan akumulasi ketidakadilan yang berpotensi menggerus semangat kerja ribuan ASN di berbagai sektor pelayanan.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI