DIALEKSIS.COM | Aceh - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Ghufran Zainal Abidin, mendesak jajaran direksi Pertamina EP Rantau untuk menghormati kekhususan Aceh terkait kewajiban menyetor zakat melalui Baitul Mal. Hal ini merujuk pada Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang perubahan atas Qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal.
"Pertamina EP Rantau mengambil sumber daya alam Aceh. Sudah seharusnya mereka mematuhi aturan lokal, termasuk menyalurkan zakat perusahaan ke Baitul Mal Aceh (BMA) atau Baitul Mal Kabupaten (BMK) sesuai qanun," tegas Ghufran kepada Dialeksis, Selasa (8 April 2024).
Ghufran mendesak Direktur dan Komisaris Pertamina Pusat serta SKK Migas memisahkan alokasi zakat dari pendapatan Pertamina EP Rantau dan menyalurkannya melalui Baitul Mal setempat. "Ini penting agar operasional Pertamina EP Rantau memberi manfaat nyata bagi masyarakat Aceh, khususnya Aceh Tamiang," tambahnya.
Minimnya Kepatuhan Perusahaan
Sebelumnya, Fujiama Prasetya, SE, Komisioner BMK Aceh Tamiang Divisi Pengumpulan, mengungkapkan bahwa mayoritas perusahaan di wilayah tersebut baik swasta, perkebunan sawit, Pabrik Kelapa Sawit (PKS), maupun BUMN seperti Pertamina EP Rantau belum memenuhi kewajiban zakat. Padahal, Pasal 102 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 dan Pergub Aceh Nomor 08 Tahun 2022 mewajibkan badan usaha memenuhi syarat sebagai Muzakki (wajib zakat) untuk menyalurkan zakat melalui BMA/BMK.
"Sepanjang 2024, hanya tiga perusahaan yang patuh: Bank Aceh Syariah Cabang Kualasimpang, Perumda Tirta Tamiang, dan PLN ULP Langsa. Padahal, ada 34 perusahaan perkebunan sawit, 13 PKS, serta BUMN seperti Pertamina EP Rantau dan PTPN yang beroperasi di sini," jelas Aji, sapaan akrab Fujiama, Rabu (22 Januari 2024).
Kendala dan Upaya Sosialisasi
Menurut Aji, rendahnya kepatuhan disebabkan perbedaan pemahaman di kalangan perusahaan. Meski demikian, BMK terus melakukan pendekatan persuasif melalui sosialisasi Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) ke sektor swasta, BUMN, perbankan, dan usaha lainnya.
"Kami optimis dengan edukasi berkelanjutan, kesadaran perusahaan akan meningkat," ujarnya.
Aji menegaskan, kewajiban zakat di Aceh tidak hanya berdasar syariat Islam, tetapi juga diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 3 Tahun 2021, serta Pergub Aceh Nomor 8 Tahun 2022. Zakat yang terkumpul akan disalurkan ke 8 asnaf (golongan penerima zakat) untuk program pengentasan kemiskinan ekstrem dan pengurangan pengangguran.
"Jika seluruh perusahaan dan institusi patuh, dana zakat yang terkumpul bisa menjadi solusi finansial bagi pembangunan Aceh, khususnya Aceh Tamiang," pungkas Aji.